Iji mengungkapkan perbandingan isu di level provinsi kampanye bermuatan ujaran kebencian adalah indikator yang paling banyak terjadi pada kampanye di media sosial yaitu sebesar 50%, disusul kampanye bermuatan hoaks sebesar 30%, dan kampanye bermuatan SARA sebesar 20%.
Menurut dia, di level kabupaten/kota, kampanye bermuatan hoaks di media sosial sebesar 40%, disusul kampanye bermuatan ujaran kebencian sebesar 33%, dan kampanye bermuatan SARA sebesar 27%.
Bawaslu memandang data ini penting untuk disebarluaskan menjelang tahapan pungut hitung pada pilkada dan tahapan pungut hitung rawan terjadi hoaks.
Dalam kesempatan yang sama, Indriyatno Banyumurti dari ICT Watch, menyatakan media sosial (medsos) masih menjadi sumber utama untuk mendapatkan informasi, sekaligus menjadi sumber penyebaran hoaks.
Menurutnya, platform yang paling banyak diakses pada 2022 adalah Facebook 55,9%, mengalami penurunan dibandingkan tahun 2020 sebesar 71,9%, dan tahun 2021 sebesar 62,6%.
“Jika sebagian besar netizen Indonesia masih tidak yakin bisa mengidentifikasi hoaks, antara yakin dan tidak yakin sebesar 45%, karena 52,2% netizen tidak mengecek informasi yang diterima melalui gambar, video, berita, situs dan post media social,” ujar Indriyanto.
Media digital, lanjutnya, juga mengambil peran tinggi sebagai sumber informasi, sebanyak 47,6% responden mengakses informasi dari portal berita online dan berita sharing, 42,6% responden percaya pada media digital, dan 31,9% responden percaya pada media sosial.
“Walau orang semakin paham akan hoaks, ternyata masih kesulitan untuk dapat memverifikasi sebuah informasi,” ungkap Indriyanto.(red)