“Saya rasa ini kemunduran demokrasi karena kompetisinya dihilangkan. Yang seharusnya masyarakat bisa melihat adu gagasan, menjadi tidak ada. Ibarat kata mau menang secara cepat saja karena tren menunjukkan calon tunggal sering menang,” ujar Khoirunnisa.
Ia juga mengungkapkan bahwa koalisi besar dalam Pilkada bukan hanya sekadar tiket kosong, namun ada potensi transaksi politik yang akan terlihat setelah kepala daerah terpilih.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Airlangga, Ali Sahab, menilai bahwa fenomena kotak kosong dalam Pilkada dapat membuat perhelatan politik hanya menjadi formalitas bagi masyarakat.
Fenomena ini dinilai akan berujung pada pemerintahan tanpa oposisi yang efektif. Ali mengkhawatirkan lembaga legislatif akan dikuasai oleh koalisi kepala daerah terpilih, sehingga fungsi kontrol terhadap pemerintah akan melemah.
“Dengan kondisi seperti itu, harapan terakhir kontrolnya ada di masyarakat. Untungnya di era digital ini, fungsi kontrol masyarakat menjadi lebih mudah,” pungkas Ali.