JABARNEWS | BANDUNG – Dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, pada Kamis (18/7/2020), Presiden Jokowi meluapkan kemarahannya atas kinerja para pembantu-pembantunya yang dianggap lambat dalam management krisis di tengah Pandemi. Tak segan-segan mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga mengancam melakukan reshuffle kabinet.
Merespon kemarahan dan ancaman Presiden Jokowi itu, Ketua Umum PP GMKI, Korneles Galanjinjinay, menyampaikan tanggapannya. Pertama, kemarahan Jokowi itu menurut Korneles, dialamatkan kepada tim ekonomi Kabinet Indonesia Maju yang lalai dan absen dalam menyerap anggaran pemulihan ekonomi Nasional, sehingga pemulihan ekonomi ditengah pandemi makin mendekati titik nadir.
“Jika hal ini tidak dievaluasi dan diambil langkah-langkah cepat starategis maka ekonomi nasional akan kolaps,” kata Korneles melalui keterangan tertulis, Sabtu (4/7/2020).
Korneles menuturkan, ketegasan Jokowi mempertaruhkan reputasi politiknya untuk 267 juta Rakyat Indonesia harus didukungan, oleh karena itu Jokowi disarankan untuk segera kocok ulang tim ekonominya yang mayoritas dari partai politik. Misalnya Menko Perekonomian Airlangga Hartanto, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang.
“Para politisi Golkar ini harus bertanggung jawab atas krisis ekonomi di tengah pandemi, Jokowi jangan takut Golkar, segerah evaluasi dan kocok ulang tim ekonomi, kalau tidak ekonomi makin jatuh,” ujarnya.
Terkait krisis kesehatan, dalam sidang Kabinet paripurna itu, Jokowi kemudian mengalamatkan amarahnya kepada Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto. Seperti diketahui anggaran Rp75 T untuk penanganan Covid-19 baru diserap 1,53%. Menkes juga perlu dievaluasi dan dikocok ulang karena lamban dalam penyerapan anggaran.
Tapi, kata Korneles, pihaknya melihat sejak awal memang Kemenkes ini tidak menjadi leading sektor dalam penanganan Covid-19, akhirnya bukan mereka yang ahli di bidangnya misalnya ahli-ahli virus dan ahli publik healt yang harusnya menggerakkan Tim Gugus Tugas, di bawa kendali Kemenkes. Ini management yang keliru, sejak dari awal pandemi, Jokowi lebih percaya dan melibatkan TNI Polri dari pada Kemenkes.
“Dalam konteks ini tentu Jokowi sebagai Presiden perlu mawas diri atas kebijakan dan keputusan yang keliru, sepanjang vaksin tidak ditemukan siapapun menterinya tidak akan berdaya menghadapi Covid-19. Jadi pak Jokowi libatkanlah mereka yang benar-benar ahli dibidangnya,” kata Korneles.
Kemudian ancaman reshuffle kepada Menkes menurut Korneles bukan reputasi politik yang dipertaruhkan Jokowi tapi reputasi profesional yang dipertaruhkan. Karena kekuatan politik yang begitu kuat memasung Jokowi.
“Kami menilai menteri-menteri dari kalangan profesional yang akan menjadi korban perombakan kabinet, kalau ini terjadi maka memang benar adanya Jokowi tak berdaya dihadapan partai politik. Dalam konteks ini Jokowi menyelamatkan reputasi politiknya,” ujar Karneles.
Soal bantuan sosial, amarah, kekecewaan dan ancaman kepala pemerintahan ini menyasar Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menteri PDTT Abdul Halim Iskandar. Memang harus diakui bahwa bansos kepada masyarakat miskin, lemah, tertindas, dan menderita akibat pandemi tidak tepat sasaran bahkan kacau balau.
Perbedaan data antara Kemensos, Kementerian PDTT, Pemda dan bahkan desa adalah pemicu utamanya. Lihat saja kerusuhan di Mandailing Natal akibat sebagian masyarakat tidak menerima BLT. Ini indikasi bahwa kemampuan konsolidasi ditingkat menteri tidak tuntas, ketegasan dan arahan-arahan ke bawa yang menyimpang, kemampuan eksekusi yang lemah, oleh karena itu dua Menteri ini perlu dievaluasi.
Ancaman reshuffle juga harus dilakukan jika dua menteri ini lalai dalam management krisis sosial. Di sini keberanian Jokowi untuk mencopot menteri partai koalisi, apalagi Juliari Batubara kader PDIP, tanpa seizin Megawati, Jokowi tidak berdaya mencopotnya.
“Kalau pun Juliari Batubara dicopot tentu akan diganti oleh kader PDIP. Begitu juga Menteri PDTT dari PKB kalaupun dicopot pasti diganti oleh kader PKB. Ini adalah lingkaran setan dalam kualisi parpol pemenang Pemilu. Jadi tidak ada artinya pak Jokowi bicara mempertaruhkan reputasi politiknya,” jelas Korneles.
Terkait video amarah, kekecewaan, dan ancaman reshuffle itu, yang 10 hari kemudian baru disebarkan oleh Tim Komunikasi Istana, yaitu 28 Juni 2020, ini menimbulkan pertanyaan, kenapa 10 hari kemudian baru video itu disebarkan. Korneles mencurigai ada skenario untuk meningkatkan kepercayaan publik kepada Jokowi, di tengah hilangnya kepercayaan rakyat kepada Pemerintahan Jokowi akibat buruknya management krisis kesehatan, kemudian menjadi krisis ekonomi dan sosial.
“Dengan video itu rakyat menjadi simpati dengan gaya komunikasi politik pak Jokowi, yang menurut saya membuat rakyat terhipnotis dan lupa akan management pemerintah yang buruk dalam penananganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional,” jelas Korneles.
Korneles meminta pak Jokowi jangan panas-panas tahi ayam, harus konsekuen, satu kata dan perbuatan. Ancaman pembubaran lembaga, reshuffle, dan perpu extraordinari, harus benar-benar dilakukan dalam situasi krisis yang sedang dihadapi untuk keselamatan 267 juta jiwa rakyat Indonesia.
“Jokowi jangan takut partai pengusung dan pendukung, kalau demi untuk rakyat maka rakyat ada bersama pak Jokowi. Pada akhirnya kita menanti keberanian pak Jokowi mempertaruhkan reputasi politiknya, apakah Jokowi berani lawan Partai Politik..? Hanya Tuhan, pak Jokowi dan para Ketua Umum Partai Koalisi yang tahu,” pungkas Korneles. (Red)