JABARNEWS | JAKARTA – Sunat perempuan masih menjadi tantangan di Indonesia, di mana 45,8 persen praktik ini dilakukan oleh tenaga medis dan 27,7 persen oleh dukun bayi, menurut survei Yayasan Puan Amal Hayati. Meski telah dilarang melalui PP No. 28 Tahun 2024, praktik ini masih berlangsung terutama di wilayah pedesaan.
Pendiri Yayasan Puan Amal Hayati, Sinta Nuriyah Wahid, mengatakan pihaknya terus melakukan berbagai upaya untuk menuntaskan isu Perlukaan dan Pemotongan Genital Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan di Indonesia.
Pada pertengahan 2024, Yayasan Puan Amal Hayati bersama United Nations Population Fund (UNFPA) melakukan kajian kritis melalui berbagai sumber, seperti Al-quran dan hadist, pendapat para ulama, dan penelitian terdahulu.
“Alhamdulillah hasil kajian kritis yang kami lakukan ternyata dapat menggelitik pemerintah sehingga menurunkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang isinya adalah pelarangan untuk melakukan sunat perempuan. Suatu prestasi yang sangat membahagiakan mengingat bahayanya sunat perempuan bagi anak-anak perempuan kita yang nantinya juga akan menjadi ibu kita semua,” tutur Sinta, dikutip dari laman Kemenpppa.go.id, Sabtu (28/12/2024).
Namun demikian, menurut Sinta, meski pemerintah sudah memiliki hukum yang mengatur mengenai pelarangan sunat perempuan, masih terdapat berbagai hambatan dalam melindungi anak-anak perempuan dari budaya tersebut, terutama di wilayah pedesaan.