JABARNEWS | YOGYAKARTA – Sejumlah mantan narapidana Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, Pakem, Sleman mengadu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Pengaduan mantan napi ke Ombudsman Perwakilan DI Yogyakarta itu terkait dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh para oknum sipir di dalam lapas.
Di depan Ketua ORI Perwakilan DI Yogyakarta Budhi Masturi, mantan napi narkoba itu membeberkan dugaan perilaku tak manusiawi yang dialami saat di lapas.
Salah satu eks narapidana, Vincentius Titih Gita Arupadatu (35) mengaku mengalami penyiksaan sejak hari pertama mendekam Lapas Pakem. Dia mendekam di Lapas Pakem 26 April 2021 sampai 19 Oktober lalu.
Baca Juga: Besok Mulai Beroperasi Gratis, Ini Rute dan Syarat Naik Bus Trans Pakuan Kota Bogor
“Begitu saya masuk ke lapas, baru penyiksaan itu. Jadi saya dikirim (bersama) 12 orang,” katanya, di Kantor ORI Perwakilan DI Yogyakarta, Senin 1 November 2021.
“Itu sampai pada masuk ke kamar pada enggak bisa, sampai ngesot semua, enggak ada yang bisa jalan,” tutur mantan napi tersebut.
Kondisi itu, kata Vincent, akibat siksaan para oknum sipir mulai dari memaksa para warga binaan untuk jalan jongkok, berguling, serta koprol.
Selain itu, pemukulan memakai benda-benda layaknya kabel, kayu, torpedo sapi kering, hingga potongan selang berisi cor-coran semen juga terjadi di Lapas Pakem.
Baca Juga: Pergi Naik Bus, Mantan Pemain Asing Persib Ini Mengalami Pencopetan
“Dipukul ke seluruh badan, sampai badan warnanya biru, hitam, merah semua. Itu selama 3 hari (pertama). Dan itu kita masuk sel masih dicari terus kesalahannya,” ungkapnya.
Kata Vincent, luka mereka juga tidak diobati. Malah para warga binaan diceburkan ke kolam lele sehingga luka-luka mereka berujung infeksi.
“Yang mengalami seperti itu ada puluhan orang,” lanjut warga Kotagede, Yogyakarta itu.
Menurut Vincent, penyiksaan juga diberikan dalam bentuk sanksi atas pelanggaran peraturan dalam lapas yang sebenarnya juga tidak tertulis.
Baca Juga: Youtober Atta Halilintar Curhat Rindu Keluarga, Hampir 2 Tahun Berpisah
Kata dia, setiap regu pengamanan (rupam) memiliki kebijakan masing-masing untuk mengatur warga binaannya.
“Tapi aturan itu sebenarnya juga enggak jelas. Jadi kayak setiap jam 10 (pagi) kita mendengar Indonesia Raya. Kita hormat, cuma mendengarkan tapi ada (warga binaan) yang mengumandangkan nah itu tahu-tahu ditarik, dipukuli, dimasukin ke sel kering selama dua bulan lebih,” bebernya.
Berdasarkan kesaksian Vincent, perlakuan macam ini selain datang dari para oknum rupam, juga dilancarkan oleh oknum petugas Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) mulai dari pagi hingga malam.
Dia menyebut penyiksaan demi penyiksaan ini dilakukan demi kesenangan atau hiburan para oknum tersebut.
Baca Juga: Sempat Cedera, Abdul Azis: Alhamdulillah Akhirnya Bisa Kembali ke Lapangan
Bahkan Vincent mengaku pernah jadi saksi beberapa bentuk penyiksaan para sipir terhadap rekan sesama warga binaan yang menurutnya tak manusiawi.
Dia berkisah suatu waktu ada narapidana dihukum berguling-guling sejauh kurang lebih 100 meter hanya karena tak memakai pakaian di dalam kamar sel.
“Itu ngguling bolak-balik itu. Kan pusing itu muntah-muntah. Nah muntahan itu suruh ngambil pakai tangan, lalu disuruh makan sampai habis. Saya saksinya,” tegasnya.
Satu wujud penyiksaan lain yang sulit hilang dari benak Vincent dialami warga binaan lain yang baru saja mendarat ke lapas dari rutan.
Baca Juga: Cegah Banjir di Kota Bandung, Ini Pesan Oded Untuk Aparat Kecamatan Hinggga Kelurahan
Narapidana yang tak ia kenali itu ketahuan sipir memasang manik-manik atau tasbih pada bagian penis.
“Ketahuan, itu dia suruh ngeluarin (secara paksa). Luka kan itu. Habis itu timun, dikeluarin bijinya dimasukin sambal. Maaf, terus suruh masturbasi dan setelah itu timunnya suruh makan. Itu benar-benar keterlaluan banget,” tutur Vincent.
Vincent melanjutkan, para warga binaan di sana turut mengalami pelecehan seksual saat proses penggeledahan. Para narapidana ditelanjangi di gelanggang dan disiram air sambil disaksikan para petugas lapas.
“Padahal kalau SOP saya pernah baca di lapas itu penggeledahan ada, tapi cuma disaksikan satu orang. Tapi kalau itu seluruh jajaran, ada ibu-ibu, ada petugas-petugas yang lain,” sebutnya.
Baca Juga: Supardi Nasir dan Puja Dipastikan Tak akan Tampil di Pekan ke-11 Liga 1, Kenapa?
Selama mendekam di lapas tersebut, menurut Vincent, hak-hak para warga binaan tak pernah terpenuhi. Mulai dari memperoleh informasi, hak beribadah, hingga hak cuti bersyarat keluar lapas.
Vincent berkisah, suatu waktu pernah kesulitan memperoleh hak cuti keluar lapas untuk menghadiri pemakaman ibundanya.
“Itu saya sempat enggak dikasih tahu, saya baru dikasih tahu dan itu pun pihak dari (binmaswan) karena ada yang kenal saya cuma bisa video call mengupayakan untuk keluar hak cuti mengunjungi keluarga, itu saya enggak diperbolehkan (keluar lapas) karena posisi saya masih semuanya penuh luka semua,” paparnya.
“Jadi hak saya untuk mengantarkan mama saya waktu meninggal itu juga enggak bisa dan saya di sel kering itu hampir 5 bulan,” sambungnya.
Baca Juga: Habis Heboh Kakek Suhud, Baim Wong Kembali Dihujani Kritik oleh Netizen Gara-Gara Ini
Selama lima bulan itu pula ia tak pernah diizinkan menghubungi anggota keluarganya. Ia hanya diberikan kesempatan melakukan panggilan video guna mengabarkan bahwa kondisinya baik-baik saja.
“Kan saya titip pesan sama teman yang bebas. Tolong cariin keluargaku, tolong diomongin kamu lihat di sini itu (penyiksaan). Akhirnya dapat laporan itu, tapi mereka (lapas) menyangkal, bisa ditelepon, suruh video call, disuruh bilang sama keluargamu kalau kamu baik-baik saja,” katanya.
Ada pula salah seorang rekannya yang meninggal akibat penyakit paru-paru bawaan. Kata Vincent, rekannya itu tak pernah diizinkan belanja kebutuhan makanan dan selalu terlambat mendapat obat-obatan. Bahkan, menurutnya, terkesan dibiarkan.
Sementara Yunan Afandi mengaku sampai mengalami cedera kaki berkepanjangan buntut penyiksaan plus terlalu lama dikurung di ruang isolasi.
Baca Juga: Tiga Pilihan Bahan Plafon Rumah Anti Air Agar Tidak Bocor Saat Musim Hujan
“Ada saya dua bulan enggak bisa jalan. Dipukul daerah kaki pernah, kalau mukul ngawur. Tapi saya rasa sel kurang gerak ruangan kecil. Fasilitas 5 orang, itu pernah diisi 17 orang, cuma tidur miring,” katanya.
Seniman tato itu mengaku menghuni Lapas Pakem sejak 2017 silam dan baru bebas tahun ini. Penyiksaan ia alami di penghujung masa kebebasannya.
“Selama 2017 sampai 2020 enggak ada penyiksaan. Setelah ada penyiksaan, di kamar ada saja ember dipukuli. Petugas tanya ember dari mana, padahal dia yang kasih. Tidur enggak pakai alas. Baju cuma satu,” ungkapnya.
Anggara Adiyaksa, aktivis hukum yang ikut mendampingi pelaporan ke ORI menyebut ada setidaknya 35 mantan warga binaan yang mengaku jadi korban dugaan penyiksaan di Lapas Pakem.
Baca Juga: Hebat! Claudia Pebrianti Raih Juara Nasional LKS SMK Pelayanan Restoran 2021
“Yang berani (buka suara) 35 orang. Ada yang masih trauma juga,” tuturnya.
Dia menyebut kedatangan Vincent dan rekan-rekannya ke Ombudsman demi menyudahi segala bentuk kekerasan yang terjadi di dalam Lapas Pakem.
Ketua ORI Perwakilan DI Yogyakarta Budhi Masturi menerangkan, apa yang disampaikan para mantan warga binaan ini baru sebatas aduan. Pihaknya meminta Vincent cs membuat laporan resmi guna ditindaklanjuti Ombudsman.
“Mereka lagi mempersiapkan laporannya dan itu sesuai dengan SOP kita. Kita akan meregistrasi dan verifikasi secara formil dan materiil baru setelah itu kita bisa menentukan langkah-langkah klarifikasi dan sebagainya,” katanya.***