Banyak Anak Muda ‘Kumpul Kebo’ di Indonesia, Kenapa?

Ilustrasi kohabitasi, pasangan yang hidup dan tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah atau kumpul kebo (Foto: Freepik)
Ilustrasi kohabitasi, pasangan yang hidup dan tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah atau kumpul kebo (Foto: Freepik)

Yulinda Nurul Aini, seorang peneliti muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyebutkan tiga alasan mengapa pasangan di Manado memilih untuk “kumpul kebo” bersama pasangan, yakni beban finansial, proses perceraian yang rumit, dan penerimaan sosial.

“Hasil analisis saya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi,” ungkap Yulinda, dikutip Minggu (6/10/2024).

Baca Juga:  Anak Muda Jangan Asal ‘Coblos’, Cek dan Ricek Program Legislasi Calon Anggota Dewan Yang Akan Dipilih

Yulinda melaporkan bahwa dari total populasi pasangan kohabitasi, 1,9 persen di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3 persen berusia kurang dari 30 tahun, 83,7 persen berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6 persen tidak bekerja, dan 53,5 persen lainnya bekerja secara informal.

Baca Juga:  Ramalan Zodiak 23 Juli 2022: Cancer, Leo dan Virgo

Ia menyebut, pihak yang paling berdampak secara negatif akibat “kumpul kebo” adalah perempuan dan anak. Dalam konteks ekonomi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu, seperti yang diatur dalam hukum terkait perceraian. Dalam kohabitasi, ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberi dukungan finansial berupa nafkah.

Baca Juga:  Mendominasi Pemilu 2024, Perludem Nilai Parpol Harus Turun Bersosialisasi ke Anak Muda

“Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial, alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah-masalah lainnya,” terang Yulinda.