Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, mengungkapkan rencana pemerintah Indonesia untuk mengembangkan energi nuklir harus memperhatikan kesiapan institusi, kesiapan dan kehandalan teknologi dan biaya investasi, biaya sosial serta risiko lainnya.
“Berdasarkan perhitungan IESR, dengan elektrifikasi yang masif dan akselerasi energi terbarukan yang lebih cepat dibangun, murah, dan rendah resiko keterlambatan/delay, Indonesia bisa membangun 120 GW energi terbarukan hingga 2030 mengandalkan surya dan angin. Kapasitas tersebut dapat membawa bauran energi terbarukan mencapai lebih dari sepertiga bauran ketenagalistrikan Indonesia, mencapai puncak emisi sebelum 2030, dan memudahkan mencapai nol emisi sektor ketenagalistrikan dengan 100 persen energi terbarukan pada 2045,” jelas Deon.
IESR mendorong agar pemerintah, khususnya di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang memiliki pengaruh dalam sektor strategis, untuk menyusun strategi transisi energi yang lebih komprehensif.
Strategi ini tidak hanya sekadar menyampaikan target besar, tetapi juga mencakup reformasi kebijakan dan kelembagaan untuk memastikan bahwa PLN dan pihak terkait mampu memenuhi target energi terbarukan yang telah ditetapkan.
Dalam hal pendanaan, investasi sebesar USD 235 miliar harus dikelola dengan baik untuk mempercepat transisi energi yang adil dan berkelanjutan. IESR juga mendorong agar sumber pendanaan ini diarahkan pada proyek-proyek energi terbarukan yang jelas dan berpotensi memberikan dampak nyata dalam mengurangi emisi karbon di Indonesia.***