JABARNEWS | KAB. BANDUNG – Masa keemasan Desa Cileunyi Kulon dan Cileunyi Wetan, Kecamatan Cileunyi sebagai sentra perajin langseng (dandang) di Kabupaten Bandung telah berlalu. Konon, saat jaya-jayanya musim per-langsengan pada era ’60-an hingga ’90-an, jumlah perajin langseng di kawasan itu mencapai ratusan orang. Namun, kini semuanya berubah drastis. Perajin langseng di Cileunyi Kulon tinggal 10 orang saja.
Ya, berceritera soal dunia langseng, perajin langseng di Desa Cileunyi Kulon memang begitu melegenda. Fakta menunjukkan, perajin di kawasan ini satu-satunya di Kabupaten Bandung. Bahkan, untuk lingkup Jawa Barat, perajin langseng di Cileunyi Kulon dan Cileunyi Wetan hanya memiliki saingan di Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya.
Menurut salah satu perajin yang sudah malang-melintang di dunia per-langsengan, Mamat Rahmat (66), dikenalnya kawasan Cileunyi Kulon dan Cileunyi Wetan sebagai sentra perajin langseng tak terbantahkan. Produksi langseng perajin dari kawasan itu menyebar ke seantero Nusantara. Selain menyebar di berbagai kawasan di Jabar, langseng produksi dua desa itu menyebar mulai Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Papua.
“Saat masa keemasan pemasaran langseng, pabrik langseng yang saya kelola bisa mengirimkan lima truk langseng dalam sehari. Itu untuk memenuhi permintaan dari berbagai daerah di Indonesia. Namun, untuk saat ini, memasarkan paling banyak empat truk langseng dalam sebulan saja sudah untung,” kata Mamat, kepada Jabarnews, baru-baru ini.
Perajin yang memiliki pabrik langseng di Kampung Cikalang Kulon, Desa Cileunyi Wetan itu, menyebutkan, merosotnya pemasaran langseng dipicu oleh semakin meroketnya harga bahan baku produk itu. Untuk saat ini, kata dia, harga tembaga yang jadi bahan baku langseng per kilogram mencapai ratusan ribu rupiah.
Di sisi lain, permintaan pasar pun terus menyusut. Berbarengan dengan semakin mewabahnya penggunaan alat masak yang serbamenggunakan listrik, seperti magic com, minat masyarakat untuk menggunakan langseng makin berkurang.
Kata Mamat, untuk menyiasati kondisi itu, para perajin berupaya mencari bahan baku alternatif di luar tembaga. Maka, munculah bahan baku langseng yang disebut prim, secon, dan DG. Harga ketiga bahan baku itu lebih murah dibandikan tembaga, hanya puluhan ribu rupiah.
“Perajin berupaya sekuat tenaga untuk bertahan di tengah keterbatasan. Bahkan, karena ingin tetap eksis, akhirnya yang banyak diproduksi yaitu bahan baku jenis secon dan DG. Di tengah permintaan pasar yang semakin merosot, semua jenis langseng mulai ukuran 25 kilogram hingga 1 kilogram tetap kami produksi,” ujarnya.
Jemput Bola
Soal trik agar produksi langseng tetap bertahan, Mamat menuturkan, itu lebih disebabkan oleh cara pemasaran jemput bola. Berbeda dengan kiat pemasaran produk lain yang kebanyakan didahului dengan pemesanan barang, pemasaran langseng justru dilakukan dengan cara mendatangi konsumen secara langsung.
“Trik itu yang membuat kami bisa bertahan. Saya jamin, bila menemui pedagang yang menjajakan langseng di berbagai kawasan di Indonesia, itu pasti berasal dari Cileunyi Kulon dan Cileunyi Wetan. Karena di wilayah perkotaan biasanya langseng sudah banyak ditinggalkan, biasanya para pedagang itu menembus hingga ke pelosok yang kebanyakan warganya masih menggunakan langseng,” ujar Mamat.
Pernyataan Mamat dibenarkan oleh salah satu pedagang kawakan yang sudah berjualan langseng ke berbagai daerah sejak awal ‘70-an, Oyon Tahyan (67). Menurut bapak 4 putra dan 8 cucu ini, hampir seluruh kabupaten dan kota di Jawa sudah dia singgahi untuk menjajakan langseng. Bahkan, dia pernah melanglang lintas provinsi, seperti Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, sampai Aceh.
Kalau untuk pulau Jawa, hampir seluruh kabupaten/kota di Jawa pernah di jadikan medan untuk menjajakan langseng.
“Saya biasa menjajakan langseng dari kampung ke kampung. Saya menjajakan langseng dengan cara dipikul. Tentu saja menjajakannya sambil berjalan,” ujar warga Desa Cileunyi Kulon itu.
Dikatakan Oyon, jika berjualan langseng ke luar Jawa, dia bisa meninggalkan Cileunyi Kulon sampai 6 bulan. Namun, kata dia, itu tak jadi persoalan. Yang penting barang laku dan uang bisa dibawa pulang.
“Saat langseng sedang jaya-jayanya, hasil berjualan langseng selama enam bulan bisa dijadikan tanggelan (sumber utama pendapatan) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan sekolah anak-anak. Namun, untuk saat ini, itu hanya jadi kenangan. Masa keemasan penjualan langseng telah berlalu. Jika saya tak memiliki usaha sampingan membuka jongko gorengan di Cileunyi Kulon, kebutuhan rumah tangga tak bisa terpenuhi,” pungkas Oyon. (dede suherlan)
Jabarnews | Berita Jawa Barat