Mendaki Bukan Sekadar Mengejar Puncak Gunung

JABARNEWS | BANDUNG – Bagi sebagian orang, mungkin mendaki atau hiking merupakan kegiatan biasa. Salah satu olahraga kaki yang cocok untuk membakar kalori berlebih dalam tubuh. Sebagian orang juga menganggap, puncak adalah tujuan utama dari pendakian.

Namun, tidak bagi mereka yang bergabung dalam Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB). Mereka berusaha memahami benar-benar hal tersebut, bukan sekadar slogan belaka. Pendiri KPGB, Dheni Christianto mengatakan, perjalanan pendakian memberi arti lebih dari sekadar kegiatan yang menguras energi dan kekuatan fisik, namun bisa memoles rasa pendakinya.

Menurutnya, mendaki dapat membentuk pribadi yang rendah hati, kaya akan pengalaman, dan bertualang dengan penuh etika.

“Puncak itu enggak akan kemana-mana kok. Yang penting itu menikmati perjalanannya. Jangan memaksa ingin ke puncak, pastikan dulu keselamatan perjalanan. Dan saya pikir, seorang pendaki itu harus punya etika. Saling menghormati dan menghargai, bukan saja kepada orang lain, tapi juga kepada alam atau lingkungan,” ujarnya.

Baca Juga:  Gadis Kecil Ini Menangis karena Polisi Kelahiran Purwakarta Pindah Tugas

Saat ia memulai mendaki gunung, ia tidak merasakan hal yang luar biasa. Gunung Manglayang adalah panorama sehari-hari bagi Dheni yang tinggal di kaki gunungnya. Ia mengaku gemar mendaki hanya karena menyukainya.

Beranjak dewasa, ia bermaksud membuat serius setiap pendakian. Tidak ada maksud untuk menaklukkan setiap puncaknya. Namun, ia ingin menjelajah setiap gunung dengan teknik dan metode yang tepat.

Hingga sekarang, ia masih belum bosan juga dengan mendaki. Akan tetapi, sejak belakangan ini mendaki jadi kegiatan yang populer dan jadi tren, timbul keprihatinan Dheni. Menurutnya, di tahun 1990-an, insiden saat mendaki tak banyak, rata-rata hanya satu pendaki yang meninggal dunia setiap tahunnya.

Tapi beberapa waktu lalu, dalam satu tahun bisa mencapai delapan pendaki yang meninggal karena insiden saat mendaki.

Baca Juga:  Ramalan Zodiak Kesehatan 12 Juli 2022: Cancer, Leo dan Virgo

Jika bisa dikatakan penyebabnya, kata Dheni, adalah karena saat ini semakin banyak orang yang mendaki. Bahkan untuk beberapa gunung dengan pamor besar, dalam satu hari bisa mencapai 500-1000 orang yang mendaki dalam sehari. Masif sekali.

Dua tahun sudah KPGB hadir, lebih dari 600 orang anggotanya dapat dikatakan aktif. Apalagi jika melihat pengikut di sosial media yang mencapai 14 ribu akun. Setiap bulannya, KPGB rutin membuat pendakian, bahkan untuk kelompok-kelompok kecil para anggotanya bisa mendaki setiap pekannya.

Sebagai persiapan sebelum mendaki, seseorang harus memiliki persiapan yang bisa mendukung keselamatan dan kenyamanannya selama perjalanan. Tak jarang seorang pendaki memiliki banyak perlengkapan yang justru terkesan mahal.

Sebut saja ransel carrier, sepatu gunung, tenda, sleeping bag, jaket, dan lainnya. belum lagi pendukung yang digunakan seperti GPS, jam tangan, serta gadget pelengkap lainnya.

Baca Juga:  Begini Reaksi Ibu Atta Halilintar Bertemu Langsung Cucunya Untuk Pertama Kali

“Nah itu kembali pada prinsip pendaki tersebut. Bagi saya mendaki itu murah, asal ada keinginan. Karena dibanding fisik, mental juga diperlukan sama besarnya,” ujar Robi Rachman (25), salah seorang anggota KPGB.

Solusi untuk mengatasi mahalnya perlengkapan mendaki, bisa jadi ada di wadah seperti KPGB. Sesuai dengan moto mereka, bersama, berbagi, dan bersinergi, semua hal bisa ditanggung renteng.

“Di sini bisa saling meminjam peralatan karena itu juga jadi lebih terasa erat kekeluargaannya. Kami semua melakukan sesuatu sebisa mungkin dilakukan bersama, selalu berbagi, termasuk patungan jika mengadakan kegiatan,” katanya.

Meski murah, seorang pendaki tentu harus dibekali teknik perjalanan agar bisa kembali pulang dengan selamat. Bekal ini tak hanya alat yang memadai namun juga kesiapan fisik serta mental. (Tri)

Jabarnews | Berita Jawa Barat