JABARNEWS | PURWAKARTA – Purwakarta, salah satu kabupaten di Jawa Barat yang kini dikenal dengan destinasi wisata dan kuliner yang memikat rupanya memiliki sejarah panjang yang tidak terpisahkan dari Kabupaten Karawang.
Tahun 1830 menjadi penanda penting dalam sejarah Purwakarta. Pada tahun itu, Bupati Karawang R.A.A. Suriawinata memindahkan ibu kota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih.
Dikutip dari buku Sejarah Purwakarta (2004) yang ditulis oleh A. Sobana Hardjasaputra bersama Tim Penelusuran Data Sejarah Kabupaten Purwakarta, melalui besluit (surat keputusan) pemerintah kolonial tanggal 20 Juli 1831 nomor 2, Sindangkasih resmi ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten Karawang dengan nama baru yaitu Purwakarta.
Namun, nama Sindangkasih tidak sepenuhnya dihilangkan. Nama tersebut tetap digunakan sebagai nama distrik di wilayah Kabupaten Karawang.
Kini, Sindangkasih dikenal sebagai salah satu kelurahan di Kabupaten Purwakarta.
Menurut Sobana dalam bukunya, tanggal 20 Juli 1831 merupakan tonggak sejarah bagi Purwakarta. Ia menegaskan bahwa besluit (surat keputusan) pemerintah kolonial itu menjadi bukti akurat dan primer, serta memiliki makna yuridis formal yang menandai berdirinya Purwakarta.
Sebelum menjadi kabupaten yang mandiri, Purwakarta masih menjadi bagian dari Kabupaten Karawang yang dipimpin oleh seorang bupati.
Berikut ini adalah daftar nama bupati yang dihimpun dari buku Sejarah Purwakarta dan laman Disipusda.purwakartakab.go.id, sejak Purwakarta ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten Karawang hingga menjadi kabupaten yang mandiri seperti sekarang.
Periode Purwakarta I
1. R.A.A. Suriawinata / Dalem Sholawat (Masa jabatan: 1829 – 1849)
R.A.A. Suriawinata adalah Bupati Karawang yang menjadi perintis pembangunan kota Purwakarta. Pada awal masa pemerintahannya, ibukota Karawang masih di Wanayasa selama dua tahun, lalu pada tahun 1930 pusat pemerintahan dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih.
Sebagai pusat pemerintahan kabupaten, nama Sindangkasih diubah menjadi Purwakarta pada tahun 1831. Sesuai dengan besluit (surat keputusan) pemerintah kolonial tanggal 20 Juli 1831 nomor 2.
Pada tahun 1849 R.A.A. Suriawinata dialihtugaskan menjadi Bupati Bogor hingga wafat tahun 1872. Ia sangat taat menjalankan ajaran Islam dan selalu membaca sholawat. Oleh karena itu ia dijuluki “Dalem Sholawat”.
R.A.A. Suriawinata adalah adik dari R.A.A. Surianata, Bupati Karawang yang memerintah pada tahun 1821-1829.
Pada awal masa pemerintahannya, R.A.A. Surianata memindahkan ibukota kabupaten dari Karawang ke Wanayasa.
Ia dikenal pula dengan julukan “Dalem Santri” dan dimakamkan di tempat yang kemudian menjadi Situ Wanayasa.
2. R.T. Sastranagara (Masa jabatan: 1849 – 1854)
Nama semula adalah Raden Muhammad Enoch, paman R.A.A. Suriawinata. Bupati R.T. Sastranagara dimakamkan di belakang Masjid Agung Purwakarta.
3. R.T.A. Sastradiningrat I (Masa jabatan: 1854 – 1863)
Nama semula adalah Raden Sumanegara alias Ujang Ayim. Ia keturunan Galuh, yaitu putra Bupati R.A. Sastradipura atau cucu R.A.A. Panatayuda IV.
Sebelum menjadi bupati, ia menjabat sebagai patih. Pertengahan abad ke-19, pendopo dan Masjid Agung Purwakarta direnovasi, alun-alun diperluas.
4. R.T.A. Sastradiningrat II (Masa jabatan: 1863 – 1886)
Nama semula adalah Aoun Muhammad Hasan alias Raden Adikusuma, putera bupati R.T.A. Sastradiningrat I. Ia adalah mantan Onder Collecteur Karawang.
Di bawah kepemimpinannya, Karawang mengalami kemajuan, khususnya dalam bidang pertanian. Atas jasanya, ia mendapat tanda penghargaan dari pemerintah kolonial berupa bintang Ridder in de Orde van den Nederlandschen Leeuw, sehingga ia dijuluki “Dalem Bintang”.
5. R.T.A. Sastradiningrat III (Masa jabatan: 1886 – 1911)
Nama semula adalah Apun Harun alias Raden Suriakusuma, putera bupati R.T.A. Sastradiningrat II.
6. R.T.A. Gandanegara (Masa jabatan: 1911 – 1925)
Nama semula adalah Apun Ahyar, adik Apun Harun (R.T.A. Sastradiningrat III).
Sebelum menjadi bupati, ia memangku beberapa jabatan, antara lain Sekretaris Wedana Sindangkasih (1886), Hoofddjaksa Purwakarta (1889), Asisten Wedana Darangdan (1900), Asisten Wedana Plered (1901), Wedana Bogor (1908), dan Wedana Subang (1910).
Ia adalah bupati terakhir keturunan Singaperbangsa. Ia dimakamkan di belakang Masjid Agung Purwakarta.
7. R.A.A. Suriamiharja (Masa jabatan: 1925 – 1942)
R.A.A. Suriamiharja dilahirkan di Mangunreja, Tasikmalaya pada tahun 1881. Ia mengenyam pendidikan di Sekolah Rendah di Bogor, Hoofdenschool (1900) dan Opleidingschool (1902) di Bandung, lalu Landbouwschool di Bogor dan Bestuurschool di Batavia (1914-1916).
Sebelum menjadi bupati, ia menjabat sebagai Sekretaris Asisten Residen di Cianjur (1903), Sekretaris Jaksa di Cianjur (1904), Mantri Pertanian di Pakis, Magelang (1905), Mantri Polisi di Padalarang/Kota Bandung (1907), Mantri di Kabupaten Bandung (1908), Asisten Wedana Cipaganti, Bandung (1909-1912), Jaksa di Sukabumi (1912-1914), Wedana Pagelaran Cianjur (1916), Wedana Pacet Cianjur (1917-1924), Patih di Tasikmalaya (1924) dan Bandung (1925).
Atas prestasinya dalam jabatan bupati, ia memperoleh payung kebesaran tingkat tinggi yang disebut “Songsong Kuning”.
8. R.T. Pandu Suriadiningrat (Masa jabatan: 1942 – 1945)
Bupati (Kenco) Karawang masa pendudukan Jepang.