Zae menjelaskan bahwa penjualan rokok sangat membantu menggerakkan pembeli untuk membeli produk lain seperti makanan dan minuman. Selain itu, penjualan rokok memberikan kontribusi besar terhadap total pendapatannya.
“Pedagang kecil seperti saya ini hanya berusaha memenuhi kemauan konsumen. Lagipula, konsumen membeli rokok itu juga dibarengi dengan belanja lain seperti makanan dan minuman,” jelasnya.
Zae berharap pemerintah seharusnya memberdayakan pedagang kecil, bukan malah menghambat upaya mereka untuk mencari nafkah secara mandiri. “Kami ini perantau, kalau peraturannya sulit dan tidak adil seperti ini, sangat besar efeknya,” tegasnya.
Hal serupa diungkapkan oleh Nunung, pedagang kelontong di Jalan Kawi-Kawi Bawah, Jakarta Pusat. Dia juga merasa bahwa pemberlakuan zonasi 200 meter penjualan rokok akan menyulitkan usahanya.
“Jangan sampai lagi harus berurusan sama Satpol PP. Kami cuma pedagang kecil. Sekarang barang-barang kebutuhan serba mahal, pendapatan juga tidak sebesar dulu. Janganlah dipersulit,” ungkapnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin menyatakan bahwa RPP Kesehatan direncanakan akan disahkan pada bulan Juni, yang di dalamnya termasuk larangan zonasi penjualan rokok dalam radius 200 meter.
Sebelumnya, Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS) Ali Mahsun menolak aturan zonasi tersebut. Menurutnya, peraturan ini tidak adil, diskriminatif, dan menzalimi rakyat kecil.
Ali menegaskan bahwa pedagang kecil berusaha mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan anak-anak mereka.
“Pedagang, baik PKL, asongan, warung kelontong, dan UMKM lain berharap tidak terus menerus disudutkan karena mereka sama sekali tidak bersalah. Rokok itu tidak dilarang di Indonesia!,” tegas Ali. (red)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News