Wahai Kaum Pria, Begini Hukum Menikahi Wanita yang Ditinggal Pergi Suaminya

pernikahan beda agama
Ilustrasi pernikahan. (foto: ilustrasi)

JABARNEWS | JAKARTA – Pernikahan bagi sebagian orang merupakan sesuatu yang sakral. Tak jarang dari mereka harus menjaganya hingga maut memisahkan.

Namun persoalan hidup bisa menimpa siapa saja. Kondisi itu terkadang bisa mengganggu hubungan pernikahan.

Misalnya, seorang suami tiba-tiba menghilang tanpa kabar dalam waktu yang cukup lama. Lalu bagaimana dengan sikap seorang istri yang ditinggalkan?

Hal ini pula yang ditanyakan Masnur, warga Pangkalan Bun Kalimantan Tengah.

Kepada nuonline.com, ia menanyakan bagaimana hukumnya jika menikahi seorang wanita yang ditinggal lama oleh suaminya?

Ia menyebutkan satu kasus. Misalnya, ada perempuan yang dahulunya menikah secara sirri, tanpa tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), dengan seorang lelaki yang menghamilinya di luar nikah.

Baca Juga:  Aturan Baru! Berikut Durasi Berlaku Tes PCR Bagi Penumpang Pesawat

Namun di kemudian hari suaminya pergi dan hilang kabar keberadaannya hingga dua tahun. Nah, saat itu ada lelaki lain yang hendak meminangnya.

Si perempuan dan keluarganya pun kebingungan menerima pinangan tersebut. Jika diterima, si perempuan masih dalam pernikahan yang pertama.

Sementara jika ditolak, suaminya telah lama meninggalkannya tanpa tanggung jawab dan tidak diketahui keberadaannya. Lalu jika hendak diurus ke pengadilan agama pun, pernikahannya tidak tercatat di KUA.

Dalam kasus seperti itu, sebenarnya sampai kapankah si perempuan harus menunggu kabar keberadaan suaminya dan boleh menikah dengan lelaki lain?

Jawabannya, suami yang pergi hingga tidak diketahui keberadaannya dalam waktu yang cukup lama dalam fiqih dikenal dengan istilah mafqûd.

Hilangnya kabar keberadaan suami dapat disebabkan pergi tanpa kabar, menjadi korban bencana semisal banjir yang tidak ditemukan jasadnya atau lainnya.

Baca Juga:  Debit Air Berkurang, Petani Indramayu Gagal Panen

Dalam kondisi seperti itu terdapat dua pendapat dari kalangan ulama. Pendapat pertama, si perempuan harus menunggu hingga diyakini ikatan pernikahannya dengan si suami telah terputus, baik karena kematian suaminya, kabar talak darinya, maupun semisalnya.

Kemudian ia telah menjalani masa iddahnya. Hal ini mengingat hukum asal dalam kasus tersebut adalah si suami masih hidup dan status pernikahannya masih berlaku secara menyakinkan sehingga tidak dapat dianggap batal kecuali secara meyakinkan pula. Demikian pendapat Imam As-Syafi’i rahimahullâh dalam qaul jadîd.

Pendapat kedua, si perempuan harus menunggu sampai lewat masa empat tahun qamariyyah dan kemudian melakukan iddah selama empat bulan 10 hari.

Baca Juga:  Gagal Dijeput Paksa KPK, Kemana Mardani Maming?

Masa empat tahun digunakan standar karena merupakan batas maksimal usia kehamilan. Sedangkan perhitungannya dimulai sejak hilangnya keberadaan suami atau keputusan hukum dari hakim atas kematian suami.

Menurut qaul qadîm, ia harus menunggu selama empat tahun. Menurut satu versi, empat tahun itu dihitung sejak raibnya si suami. Sementara menurut versi al-ashhah, dihitung sejak ada keputusan dari hakim. Maka waktu yang berlalu sebelumnya tidak di hitung.

Kemudian ia menjalani ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, lalu boleh menikah setelahnya. Demikian karena mengikuti putusan hukum Umar RA dalam kasus tersebut. Penggunaan acuan empat tahun, mengingat masa tersebut merupakan batas maksimal masa kehamilan. (red)