Gunakan Sekam Padi, 5 Mahasiswa Unpad Gagas Masker Kain Anti-Covid-19

JABARNEWS | BANDUNG – Pandemi Covid-19 ternyata menghasilkan dampak lingkungan yang juga krusial. Pemakaian masker medis dan masker sekali pakai lainnya telah menyumbang peningkatan limbah medis.

Sekalipun ada alternatif penggunaan masker kain atau masker yang bisa dipakai berulang, ternyata kurang efektif menahan virus corona dari droplet maupun aerosol. Penggunaan masker medis pun direkomendasi untuk mencegah Covid-19.

Kondisi ini mendorong lima mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) mengembangkan gagasan penelitian mengenai masker kain dengan efektivitas yang serupa dengan masker medis.

Lima mahasiswa tersebut berasal dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Mereka adalah Rifky Adhia Pratama (Kimia), Riska Kurniawati (Biologi), Farrel Radhysa Muhammad Zahdi (Biologi), Didi Permana (Fisika), Muhammad Naufal Ardian (Fisika).

Dalam mengembangkan gagasan penelitian mengenai masker kain yang berkualitas seperti masker medis, mereka dibantu oleh tiga dosen pembimbing, yakni Diana Rakhmawaty Eddy, Allyn Pramudya Sulaeman, dan Yudha Prawira Budiman.

Baca Juga:  Wagub Jabar Terpilih Siap Jadi Timses Jokowi-Ma'ruf

Kelimanya menggagas ide masker dengan kombinasi katun 60% dan poliester 40% serta dilapisi dengan lapisan grafena dari sekam padi. Ide ini diwujudkan melalui riset yang masih berbasis literatur.

Rifky selaku ketua tim menjelaskan, masker dengan komposisi 60% katun dan 40 % poliester diyakini mampu menghambat droplet dan aerosol dari luar. Apalagi, dengan ditambah grafena yang dilapis di bagian permukaan masker.

Berdasarkan literatur, lapisan grafena memunculkan sifat super hydrophobic atau sifat yang mampu menolak air. Ini dibuktikan dengan hasil pengukuran sudut kontak.

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa lapisan grafena memiliki nilai kurang lebih 141 derajat. Nilai ini melebihi acuan suatu material dikatakan hydrophobic, yaitu 90 derajat.

“Karena nilainya sangat jauh melebihi 90 derajat, maka kita namakan super hydrophobic,” terangnya, dikutip dari laman resmi Unpad, Kamis (25/2/2021).

Menilik sifat penyebaran virus SARS-CoV-2 yang bisa bertransmisi melalui droplet (percikan) dan aerosol, adanya efek super hydrophobic akan optimal memblokir droplet maupun aerosol. Baik dari luar masker maupun jika pengguna masker merupakan penyintas Covid-19.

Baca Juga:  Laka Lantas di Tol Medan-Tebing Tinggi, Satu Orang Tewas

Selain itu, efek lain dari lapisan grafena pada masker adalah memunculkan aktivitas fototermal. Aktivitas ini memanfaatkan sinar matahari untuk mengatalisis suatu reaksi.

Rifky menjelaskan, ketika masker kain dilapisi grafena, data menunjukkan bahwa proses fototermal di masker bisa mencapai 80 derajat, sehingga mampu menginaktivasi virus.

“Berdasarkan data jurnal yang kami peroleh, protein spike pada virus SARS-CoV-2 sangat sensitif terhadap suhu tinggi, sehingga lapisan masker kain mampu hasilkan efek fototernal yang akan berpotensi menginaktivasi virus,” kata Rifky.

Pemanfaatan grafena dari sekam padi merupakan potensi yang unik. Sekam padi sendiri merupakan limbah yang kerap dihasilkan dari aktivitas pertanian.

“Kita tahu Indonesia merupakan negara agraris. Setiap produksi beras akan menghasilkan 20 – 30 limbah sekam padi,” ungkap.

Baca Juga:  Sistem Resi Gudang di Purwakarta Bisa Tampung 25.000 Kg Beras

Dari studi literatur ditemukan bahwa sekam padi mengandung 30 – 40 karbon, zat yang menjadi cikal bakal dari grafena. Sayangnya, potensi ini masih belum dimanfaatkan dengan baik. Sekam padi biasanya masih digunakan untuk pakan ternak.

Selain itu, tidak hanya sebagai pelapis masker kain, grafena dari sekam padi juga bisa dikomersialisasikan. Sebabnya, grafena sendiri memiliki nilai jual yang tinggi di tingkat global.

Rifky dan tim mengangkat riset literatur ini ke ajang internasional “ASEAN Innovative Science Environmental and Entrepreneur Fair” pada Januari-Februari lalu. 

Hasilnya, tim berhasil memperoleh medali emas dan penghargaan “Best Innovation” untuk kategori inovasi sains dan lingkungan berdasarkan hasil kompetisi yang diumumkan secara virtual, Selasa (23/2/2021) lalu.

Sebanyak 505 peserta dari 20 negara mengikuti kompetisi penemuan virtual yang diinisiasi lembaga Indonesia Young Scientist Association (IYSA) bekerja sama dengan lembaga saintis lainnya dari berbagai negara. (Red)