Hindari Jerat UU ITE, BIN Selalu Ingatkan Pengguna Konten Medsos Bernuansa Negatif

JABARNEWS | JAKARTA – Pihak Badan Intelijen Negara (BIN) mengaku selalu mengingatkan kepada masyarakat yang kedapatan kerap menggunakan konten media sosial bernuansa negatif sebagai upaya pencegahan terhadap jerat Undang-Undang ITE.

Hal ini diutarakan Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto dalam webinar “Menyikapi Perubahan Undang-Undang ITE,” yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Rabu (10/3/2021).

“Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) perlu banyak pertimbangan karena pesatnya penggunaan internet.Sementara pemanfaatan ruang digital oleh warga belum optimal untuk hal yang positif. Namun iklim di dunia cyber memerlukan etika berkomunikasi agar kebebasan pribadi tidak melanggar kebebasan orang lain,” paparnya di hadapan audiens virtual.

Wawan mengaku, BIN aktif melaksanakan patroli siber 24 jam guna menangkal konten-konten negatif yang merugikan kepentingan publik dan menciptakan instabilitas sosial politik di Indonesia. Bahkan dari fakta yang ada saat ini, sejumlah kerusuhan di dunia nyata, justru dimulai dari ujaran

kebencian di media sosial.

“Sehingga kami dalam patroli selalu menyampaikan peringatan-peringatan kepada masyarakat sebagai pengguna medsos yang mengarah ke ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan lainnya. Bagi mereka yang kebetulan kebablasan, kami terus ingatkan,” tukasnya.

Baca Juga:  Henhen: Mau Besok Atau Kapan Juga, Kita Siap

Wawan menambahkan, segelintir orang memanfaatkan kebebasan tanpa mempertimbangkan apa yang telah dilakukannya. Tanpa disadari, kritik yang awalnya dilindungi, berubah pada pencemaran nama baik, ujaran kebencian, fitnah, doxing, menyebarluaskan data pribadi seseorang ke ranah publik.

“Ujaran kebencian tersebut memecah belah persatuan, bahkan untuk tataran yang lebih jauh perbuatan itu bisa menimbulkan atau memicu genosida (pemusnahan). Beberapa dari kasus tersebut di antaranya pencemaran nama baik, ancaman terhadap presiden, kerusuhan di Kendari pada 17 September 2020 namun dilakukan melalui media sosial,” bebernya.

Sementara sumber lain Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono menyampaikan, data laporan kepolisian terkait UU ITE meningkat setiap tahunnya.

“Ada kecenderungannya laporan yang masuk ke polisi terkait UU ITE meningkat. Namun tidak semua kejadian yang menyangkut UU ITE tersebut dilaporkan sampai menjadi satu laporan polisi. Artinya apabila dilaporkan semuanya ini, jumlahnya akan lebih banyak lagi,” ungkapnya.

Baca Juga:  Jelang AKB, BKD Depok Sosialisasikan Protokol Kesehatan di Restoran

Data kepolisian, dari jenis ragam pengaduan yang masuk ke kepolisian terkait Undang-Undang ITE, adalah kebanyakan laporan pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan laporan informasi hoaks.

Kasus Pencemaran Nama Baik:

Tahun 2018 ( 1.258 Kasus)

Tahun 2019 ( 1.333 kasus)

Tahun 2020 ( 1.794 Kasus)

Kasus Ujaran Kebencian:

Tahun 2018 ( 238 Kasus)

Tahun 2019 ( 247 Kasus)

Tahun 2020 ( 223 Kasus)

Kasus Informasi Hoaks/Bohong :

Tahun 2018 ( 60 Kasus)

Tahun 2019 ( 97 Kasus)

Tahun 2020 ( 223 Kasus)

Namun kata Rusdi, banyaknya tersangka atau barang bukti yang diserahkan ke Kejaksaan, itu tidak bisa dijadikan penilaian keberhasilan kinerja Polri pada era kekinian. Tapi, bagaimana polisi mampu mencegah tindak kejahatan, masyarakat tidak menjadi korban kejahatan dan juga mencegah munculnya pelaku-pelaku kejahatan.

“Ini yang senantiasa menjadi bagi Polri bagaimana ke depan sisi-sisi pencegahan itu menjadi sesuatu yang dominan di dalam pelaksanaan tugas di lapangan,” katanya.

Lantas bagaimana polisi menyiasati situasi kekinian ketika pengkajian ataupun revisi UU ITE berjalan, di sisi lain UU ini masih berlaku di masyarakat? 

Baca Juga:  Polisi Purwakarta Tak Henti Ingatkan Masyarakat Tentang Pencegahan Covid-19

“Polisi tentunya melakukan langkah-langkah disesuaikan dengan harapan masyarakat. Keinginan presiden menjadi pertimbangan yang perlu dipahami oleh Polri,” tukasnya.

Berdasarkan aturan-aturan yang ada dalam internal, Rusdi melanjutukan, dapat dilihat melalui Peraturan Kapolri Nomor 26 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Pada Pasal 1 ayat 27 itu di mana satu perkara pidana melalui proses mediasi antara pihak-pihak yang bersengketa pelapor, terlapor, maupun pihak-pihak yang dianggap mampu menyelesaikan suatu masalah.

Kedua bisa dilihat dari Surat Edaran (SE) Nomor 2 Februari 2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika dan Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif.

Di mana dalam SE tersebut penyidik berprinsip ultimum remedium dan mengedepankan restorative justice dalam menyelesaikan perkara-perkara hukum yang berhubungan dengan UU ITE itu sendiri.

“Tentunya melihat situasi kekinian, jangka pendek yang bisa dilakukan oleh Polri adalah mediasi jadi salah satu solusi terhadap kegaduhan implementasi daripada UU ITE,” pungkasnya. (red/rilis)