Revisi UU ITE Dapat Dukungan, Jurnalis Kerap Jadi Sasaran Pasal Multitafsir

JABARNEWS | JAKARTA – Wacana revisi Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) mendapat dukungan berbagai pihak, karena penerapan pasal multitafsir di dalamnya kerap salah sasaran menjerat jurnalis dan media serta bertentangan dengan UU Pers No 40 Tahun 1999,

Hal ini terungkap dalam Webinar “Menyikapi Perubahan Undang-Undang ITE,” yang menghadirkan nara sumber dari berbagai bidang profesi ini digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Rabu (10/3/2021).

Anggota Komisi I DPR (BidangPengawasan Pelaksaan Undang-Undang,red), Sukamta setuju agar UU ITE segera direvisi. Namun hingga saat ini belum ada upaya nyata dari pemerintah, termasuk DPR.

“Maraknya pelaporan ke polisi atas pelanggaran UU ITE, justru mengancam kebebasan pers yang selama ini sudah berjalan benar,” tegasnya.

Baca Juga:  Hendak Seberangi Sungai, Pasutri di Cianjur Terseret Arus Deras

Bahkan dia mengutip data pemindaian, terhadap kasus yang menjerat jurnalis atau media pada 2018 dan 2019 ini, menjadi yang tertinggi.

Hal ini terjadi lanjut dia, karena banyak pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE dan ini menjadi kemunduran bagi demokrasi dan bertolak belakang dengan semangat kebebasan pers di dalam UU No 40/99 Tentang Pers.

Sedang Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf berpendapat, jika dilihat dari segi hukum revisi UU ITE tersebut sebenarnya ingin memadukan, menemukan, mengintegrasikan citra hukum dengan keadilan, sebagaimana pernah ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo.

“Jadi kalau ini ada masalah soal keadilan maka di hulunya yang kita perbaiki,” ujarnya.

Baca Juga:  Perampok Bawa Kabur Dana Bansos di Purwakarta, Begini Kronologisnya

Setelah itu, sambung Asep, barulah langkah selanjutnya yang mesti dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika yakni, memastikan soal kepastian hukum.

“Di sisi masyarakat, revisi atau perubahan tersebut harus ada manfaatnya. Saya sendiri lebih mendorong DPR menginisiasi dimulainya revisi UU ITE, mengingat lembaga ini mewakili rakyat,” ungkapnya.

Sementara pakar IT Founder Media Kernel, DR Ismail Fahmi, Ph.D melihat pro revisi UU ITE sangat besar. Dia memandang, peran utama media massa untuk membangun percakapan publik yang benar.

“Selama ini dari berbagai pengaduan ke polisi, orang yang dilaporkan terdiri dari berbagai profesi. Antara lain, terlapor dari dari kelompok kritis dengan prosentasi 37,5%, seperti jurnalis/media (19), aktivis (24),Dosen/Guru (19) dan buruh (7). Kemudian 56 persen lainnya, yang menjadi terlapor sebanyak 103 berstatus warga biasa,” paparnya.

Baca Juga:  Aliansi Kiansantang Pertanyakan Terbitnya Sertifikat Kawasan Hutan Jadi Milik PJB

Sedang profesi yang melaporkan terdiri dari 68 persen, pelapor orang yang memiliki kekuasaan terdiri dari 42 persen merupakan pejabat publik, 22 persen kalangan profesi dan 4 persennya kalangan yang berpunya. sedangkan yang 23 persennya, pelapor berstatus sebagai warga biasa,” jelas Ismali Fahmi.

Webinar yang mendapat perhatian dari berbagai kalangan profesi ini dimoderatori oleh Wina Armada dan dibuka oleh Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari, juga dihadiri oleh Sekjen PWI Pusat, Mirza Zulhadi, Wakil Sekjen Suprapto Sastro Atmojo dan Wakil Bendahara PWI Pusat, Dar Edi Yoga.(red/rilis)