Dedi Mulyadi Usul Agar Kementan Diberi Otoritas Untuk Serap Gabah Petani

JABARNEWS | PURWAKARTA – Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi mengusulkan agar Kementerian Pertanian diberi otoritas untuk menyerap gabah petani. Hal itu dilakukan demi menjaga kestabilan pangan dan berimbas pada pencegahan buruh tani menjadi miskin absolut.

Dedi menjelaskan, selama ini penyerapa gabah atau beras hasil panen petani dilakukan oleh Blog. Semengara selama ini pengelolaan Bulog itu berbasis komersial. Kalau Bulog berbasis komersial, maka hitungan penyerapan harus didasarkan pada aspek-aspek bersifat komersial, seperti kadar air, harga dan dan lainnya, agar badan pemerintah ini tidak mengalami kerugian.

Karena hitungannya cukup ketat, maka penyerapan gabah pun menjadi rendah. Nah, dampak dari rendahnya penyerapan gabah, maka petani kelimpungan. Biasanya, petani di mana-mana melakukan panen bersama sehingga gabah menumpul sehingga harganya pasti jatuh. Namun sebaliknya, ketika musim paceklik, harga gabah atau beras naik sementara stok menipis. Dan, itu menjadi poblem padi.

“Kenapa harga ketika panen jatuh karena penyerapan rendah. Kan sumber penyerapan hanya dari sumber konsumsi dan Bulog,” kata Dedi melalui sambungan telepon, Sabtu (20/3/2021).

Baca Juga:  Aniaya Anak Tirinya, Seorang Wanita di Subang Diamankan Polisi

Sementara di negara lain, lanjut Dedi, harga gabah relatif stabil dan produksi meningkat. Sebab, ketika panen, padi petani diserap negara. Oleh negara kemudian disimpan di gudang, lalu sisanya dijual ke luar.

“Namun di kita kan nggak, sehingga saya berpendapat bahwa Kementerian pertanian diberi otoritas untuk membeli gabah petani. Sehingga nanti pengelolaannya dibagi dua. Bulog itu bersifat komersial, sementara Kementan mengamankan cadangan pemerintah untuk menjaga stabilitas pangan,” katanya.

Agar Kementan bisa optimal menyerap gabah petani, maka harus dibuat rumusannya. Misalnya, subsidi pupuk dicabut dan anggarannya dialokasikan untuk membeli gabah petani.

“Alokasi subsidi pupuk dipakai saja untuk menyerap gabah petani. Pupuk nggak apa-apa non subsidi, tetapi hasil produksi gabah dibeli pemerintah. Tinggal pemerintah memberi harga lebih saja 10 persen. Misalnya harga gabah 500.000 per kuintal, maka harga belinya jadi 550.000 per kuintal,” jelas anggota DPR dari Fraksi Golkar itu.

Dedi mengatakan, alasan bahwa penyerapan gabah tani oleh Kementerian Pertanian harus segera dirumuskan karena yang akan menderita dari kenaikan harga beras pada musim paceklik itu adalah buruh tani.

Baca Juga:  OTT Di Bekasi, KPK Sita Rp 1 Miliar

Menurut Dedi, ketika musim panen, pendapatan dari kerja buruh tani rendah karena harga gabah murah. Sebab, penghasilan buruh tani ditentukan oleh harga gabah. Ketika panen, nilai tukar gabah sangat rendah. Namun ketika musim paceklik, buruh tani harus membeli beras dengan harga mahal.

“Ketika panen, gabah dibeli di pasar dengan harga murah. Ketika pas mucim pakceklik dia harus beli beras hasil produksinya sendiri dengan harga tinggi. Sehingga kemiskinan buruh tani adalah kemiskinan absolut,” kata mantan bupati Purwakarta itu.

Namun ketika gabah petani diserap pemerintah, maka harga gabah akan relatif stabil karena semuanya menjadi stok negara, sehingga tidak melahirkan spekulan.

“Karena pangan di mana-mana juga diatur negara, bukan aspek perdgangan bebas. Pangan itu aspek yang sangat strategis. Di Thailand, negara menyerap gabah petani dan disimpan di gudang,” katanya.

Menurut Dedi, Kementerian Pertanian bukan hanya mendorong produktivitas, tetapi juga harus didorong untuk membeli produksi petani dan dibuat bertingkat. Anggaran penyerapannya bukan hanya dari Kementan pusat, tetapi juga dari Dinas Pertanian provinsi hingga kota dan kabuaten. Kalau anggarannya bertiga ditanggung renteng, maka setiap daerah bisa memiliki gudang pangan. Sehingga ketika musim paceklik buruh tani tidak menderita harus membeli beras dengan harga mahal akibat cadangan menipis.

Baca Juga:  Sea Games 2019, Dua Atlet Renang Asal Bekasi Ikut Ambil Bagian

“Minimal pertama beras itu tersimpan di daerah penghasil. Misalnya satu desa penghasil padi memiliki luas sawah 2.000 hektare. Ketika panen, dia harus menghitung penduduk dan kebutuhan beras 4 bulan ke depan, sehingga stok yang dipersiapkan sekian. Nah, sisanya baru digeser keluar,” katanya.

Namun sekarang, pengelolaan seperti otu tidak dilakukan. Misalnya, sebuah desa di Pantura itu adalah daerah penghasil gabah. Lalu ketika panen, semua gabah dijual karena tak ada pilihan. Kemudian ketika masuk musim paceklik, mereka kekurangan beras.

“Bisa lihat data di Kementerian Sosial, daerah tingkat konsumsi tinggi bantuan non tunai seperti rastra atau raskin itu adalah daerah penghasil padi. Kalau di Jabar itu ya Cianjur, Karawang, Indramayu, Subang dan lainnya,” kata Dedi. (Red)