Menko Polhukam Mahfud MD: Kerja Jurnalis Harus Dilindungi, Follow Up Kasus Ini!

JABARNEWS | JAKARTA – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) yang juga Ketua Kompolnas Mahfud MD memastikan kelanjutan penanganan kasus kekerasan yang menimpa jurnalis Tempo, Nurhadi. 

Pada Sabtu 27 Maret 2021 malam lalu, Nurhadi dianiaya di Surabaya, Jawa Timur. Mahfud MD menyatakan bahwa pekerjaan jurnalis adalah bekerja mencari kebenaran dan pemerintah harus memberikan perlindungan. 

“Saya sudah mendengar dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen), LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pers, dan Polda Jawa Timur,” kata Mahfud MD saat berdialog dengan perwakilan AJI Indonesia dan LBH Pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (1/4/2021), sebagaimana dirilis AJI.

“Saya telah bicara dengan Kapolda (Jawa Timur), kasus itu akan terus di-follow up. Sudah prarekonstruksi dan Kapolda menyatakan akan diteruskan kasusnya sampai jelas posisi hukumnya seperti apa,” sambung Mahfud MD. 

Menurut Mahfud, secara prinsip, pemerintah memang harus melindungi jurnalis. “Bagi kami, pemerintah, jurnalis bukan musuh, tetapi teman untuk mempercepat pengungkapan kasus,” katanya.

Baca Juga:  Wow, Pendapatan VIVA Diangka Rp.2,77 Triliun

“Oleh sebab itu, kita berharap pekerjaan jurnalis jangan diganggu. Siapa yang mengganggu jurnalis berarti dia punya kesalahan yang ingin ditutupi atau ingin menutupi kesalahan orang lain,” lanjut Mahfud MD.

Dia menambahkan kerja jurnalis ialah untuk mencari kebenaran. Apabila kerja jurnalis dianggap salah, maka ada mekanismenya melalui Dewan Pers, berdasarkan kode etiknya.

“Kalau masuk ke soal hukum, ya ada hukumnya, tetapi jangan diganggu ketika sedang bekerja,” kata Mahfud MD.

Kepada Menko Polhukam, Sekjen AJI Indonesia Ika Ningtyas menyampaikan bahwa AJI meminta pemerintah serius menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, termasuk mengusut semua pelaku kekerasan terhadap Nurhadi. 

Pembiaran pada kasus kekerasan yang menimpa jurnalis menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers dan demokrasi. Kekerasan yang menimpa Nurhadi pun bukan kali pertama terjadi. 

Baca Juga:  Begini Cara VLOC Purwakarta Memaknai Anniversary yang Ke-3

Sepanjang 2020, AJI mencatat terjadi 84 kasus kekerasan menimpa jurnalis di berbagai daerah. Sebagian besar kasus tersebut tidak pernah diusut oleh aparat.

“Pemerintah harus menunjukkan komitmen melindungi kebebasan pers dengan tidak membiarkan adanya impunitas terhadap para pelaku kekerasan yang telah merusak demokrasi kita,” kata Ika di tempat yang sama.

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin menyampaikan, kekerasan yang menimpa Nurhadi merupakan pelanggaran Undang Undang Pers. 

Selain pengiayaan, ada juga penghalang-halangi aktivitas jurnalistik ketika para pelaku mematahkan simcard dan me-reset telepon seluler Nurhadi.

“Kami mendorong penegak hukum untuk mengusut kasus ini dan mencari pelakunya siapa. Hingga sekarang sudah dihadirkan dua terduga pelaku, tapi harapannya tidak berhenti di situ karena yang melakukan kekerasan banyak,” ujar Ade.

Berdasarkan catatan Bidang Advokasi AJI Indonesia, sepanjang 2020, kasus kekerasan terbanyak terjadi di Ibu Kota Jakarta (17 kasus) disusul Malang (15 kasus), Surabaya (7 kasus), Samarinda (5 kasus), Palu, Gorontalo, Lampung masing-masing 4 kasus.

Baca Juga:  Direskrimsus Polda Jatim: Pem-booking Vanessa Angel Akan Diperiksa

Dari jenis kasus kekerasan yang dihadapi jurnalis, sebagian besar berupa intimidasi (25 kasus), kekerasan fisik (17 kasus), perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan (15 kasus), dan ancaman atau teror 8 kasus. Sedangkan dari sisi pelaku, polisi menempati urutan pertama dengan 58 kasus, disusul tidak dikenal 9 kasus, dan warga 7 kasus.

Perwakilan AJI Indonesia dan LBH Pers juga menyampaikan catatan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir, termasuk kekerasan di ranah digital dan ancaman Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Menyikapi hal ini, Menko Polhukam menyebutkan akan menggelar pertemuan bersama Ketua Dewan Pers, Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Menteri Komunikasi dan Informatika, serta Kapolri. (Red)