Bumi Dihadapkan pada Kepunahan Massal Tahun 2100, Ini Penjelasannya

JABARNEWS I BANDUNG – Persentase unsur karbon akan meningkat secara masif di bumi pada akhir abad ini dan akan membuat perubahan pada lingkungan hidup. Peningkatan karbon dan perubahan habitat itu diprediksi akan memicu kepunahan massal keenam. 

Dikutip dari laman Warstek, Rabu (12/5/2021), peneliti bumi Nicolaus Ario Wicaksana menjelaskan, selama 540 juta tahun terakhir, Planet Bumi sudah mengalami lima kali insiden kepunahan massal. 

Tragedi terparah terjadi sekitar 250 juta tahun lampau di era Permian. Sebuah peristiwa yang dikenal dengan nama The Great Dying dalam ilmu geologi. 

Saat itu, peristiwa The Great Dying meluluhlantakan makhluk hidup di bumi, lebih dari 95 persen makhluk hidup punah. Laut menjadi lebih asam pada saat itu. 

Kepunahan massal terakhir terjadi di periode Crataceous – Tertiary, sekitar 65 juta tahun silam. Pada masa ini dinosaurus punah dan kemudian mamalia mulai menguasai bumi. 

Daniel H. Rothman, ahli Geofisika dari Massachusetts Institute of Technology, menggambarkan adanya keterkaitan antara sejarah beberapa peristiwa kepunahan massal tersebut dengan kondisi bumi saat ini (Rothman, 2017).

Secara ilmiah, melalui kacamata ilmu geologi, lima “kiamat” yang pernah terjadi di Bumi bisa diketahui dengan meneliti kandungan karbon yang ada khususnya yang terkandung dalam suatu batuan (Rothman, 2017). 

Karbon adalah elemen alami yang penting bagi bumi. Makhluk hidup di bumi bernafas dengan menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. 

Sementara tumbuhan berfotosintesis dengan menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen. Karbon terkandung dalam beberapa senyawa seperti karbon dioksida (CO2). 

Baca Juga:  Diskominfo Purwakarta Pasang CCTV Bantu Amankan Logistik Pemilu

Sama seperti air, karbon mengalir melalui bumi dalam satu lingkaran berkelanjutan sebagai suatu siklus karbon. Empat tempat menyimpan cadangan karbon di bumi antara lain: organisme hidup, batuan, air, dan atmosfer. 

Jumlah karbon dalam siklus ini konstan, tetapi jumlah karbon di setiap tempat juga berubah secara konstan. Ada dua jenis siklus karbon, siklus lambat, dan siklus cepat. 

Dalam siklus cepat, karbon bergerak antara organisme hidup dan atmosfer. Siklus lambat melibatkan pertukaran karbon di atmosfer dan litosfer (IPCC, 2007).

Gangguan terhadap siklus karbon ini bisa memicu perubahan terhadap iklim di bumi. Pelepasan karbon dalam jumlah besar bisa dipicu oleh beragam faktor. 

Pada kepunahan massal di periode Permian (The Great Dying), sekitar 250 juta tahun silam, pelepasan karbon dipicu oleh letusan gunung berapi. Fenomena tersebut dikenal dengan nama Siberian Traps yang turut melepaskan karbon dalam jumlah sangat besar ke atmosfer. 

Sementara dalam kepunahan massal Crataceous – Tertiary, pelepasan karbon dipicu oleh hantaman asteroid besar yang memicu letusan gunung berapi serta kebakaran besar di hampir seluruh permukaan Bumi. 

Penting untuk diingat bahwa kepunahan tersebut terjadi dalam sebuah proses yang memakan waktu ribuan tahun (Rothman, 2017). 

Lalu bagaimana dengan prediksi Rothman? Bagaimana hanya dalam tempo sekitar 80 tahun karbon dalam jumlah besar dilepaskan ke atmosfer dan memicu kiamat kepunahan massal?

Baca Juga:  9 ABG Sok Jagoan Minta Ampun Di Hadapan Polisi

Peningkatan jumlah karbon di atmosfer, daratan (permukaan bumi) dan lautan adalah hal yang mendasari prediksi kepunahan massal di tahun 2100. 

Setiap kepunahan massal planet kita pada masa silam, selalu diiringi peningkatan kadar karbon dioksida (CO2). Artinya, proses fotosintesis dari tumbuhan, yang menunjang produksi oksigen untuk mahluk hidup, tidak bisa mengimbangi pertambahan CO2 (Rothman, 2017). 

Pada era manusia modern saat ini (Anthropocene), selama beberapa dekade telah dihasilkan produksi karbon dioksida dalam jumlah luar biasa besar yang langsung berdampak pada lingkungan (Morgan, 2020).

Penelitian Daniel H. Rothman dengan judul Thresholds of Catastrophe in the Earth System yang terbit di Science Advances menyatakan kepunahan dalam waktu dekat akan dipicu oleh emisi jumlah karbon di bumi. 

Dampak bertambahnya polusi di lautan tidak kalah merusak, karena mayoritas tanaman dan hewan di bumi ini sebetulnya hidup di air asin. Kajian pada penelitian ini menghasilkan grafik hitungan matematis mengenai momentum bumi akan benar-benar mengalami kepunahan massal. 

Menurut Daniel H. Rothman ambang batas penambahan jumlah karbon pada siklusnya di bumi dipatok sebesar 310 gigaton. Proyeksi tersebut berdasarkan data Intergovernmental Panel on Climate Change. 

Jika manusia terus menambahkan 310 gigaton emisi karbon, maka pada tahun 2100 kehidupan di Planet Bumi tak akan lagi seperti sekarang. Setelahnya, peradaban bumi akan memasuki kondisi dimana “masa depan tidak bisa lagi terprediksi” (Rothman, 2017).

Rothman mendasarkan hitungan matematis soal ambang batas emisi karbon itu, berdasarkan data-data geologi yang ada. Dia memantau 31 kali perubahan siklus karbon yang dialami Planet Bumi selama 542 juta tahun terakhir. 

Baca Juga:  Pemkot Bandung Gencarkan Kerjasama Dengan Polri dan Denpom Untuk Penertiban PKL dan Parkir Liar

Rothman kemudian menghitung sebaran karbon di samudra, setiap kali kepunahan massal terjadi. Dia memperhatikan pada lima insiden kepunahan massal tersebut, selalu terjadi siklus karbon yang terganggu. 

Jadi, bila peradaban bumi akan benar-benar melewati ambang batas penambahan 310 gigaton karbon pada 2100, maka dampaknya bisa saja sama merusak seperti kepunahan massal yang terjadi sekitar 250 juta tahun lampau di periode Permian. Angka 310 gigaton masih spekulasi moderat. 

Proyeksi Rothman yang lebih pesimis memperkirakan jumlah emisi karbon di lautan 83 tahun lagi adalah sebesar 500 gigaton (Rothman, 2017).

Pada publikasinya yang berjudul Thresholds of Catastrophe in the Earth System, Rothman mengingatkan kita agar tidak membayangkan kiamat kepunahan massal akan langsung dialami manusia pada awal Januari 2100. Bukan seperti itu. 

Mungkin masih banyak spesies yang akan hidup normal pada awal 2100. Mungkin saja, hari itu, semua orang masih beraktivitas seperti biasanya. Bangun di pagi hari dan kemudian berangkat bekerja. 

Akan tetapi hal yang terjadi ketika ambang batas karbon ini terlampaui adalah kondisi lingkungan akan melewati batas maksimal stabilitas pendukung kehidupan (Rothman, 2017). 

Setidaknya jika siklus karbon ini memang sudah melebihi ambang atas, kita bisa menganggapnya sebagai sebuah permasalahan lingkungan yang harus diselesaikan. (Red)