Pembangunan Negara, Berawal Investasi berakhir Eksploitasi

Penulis: Rahilya Salsabila (Mahasiswa Ilmu Politik Unpad) dan Dr. Yusa Djuyandi , S.IP., M.SI. (Dosen Ilmu Politik Unpad)

Pembangunan nasional adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat ke arah yang diinginkan, melalui kebijakan, strategi dan rencana. Dalam proses pembangunan sebuah negara dapat dikatakan berhasil apabila pembangunan itu dapat memberikan perubahan dan progres atau kemajuan tertentu dan memberikan perubahan yang baik pada aspek ekonomi. Pembangunan pun berjalan seiringan dengan globalisasi.

Globalisasi ini memainkan peranan dalam pembentukan konsep pembangunan suatu negara. Salah satu contoh efek Globalisasi yang berdampak pada konsep pembangunan ialah terbentuknya Teori-teori ekonomi yang saat ini sering diterapkan secara global.

Salah satu contoh dari teori atau konsep ekonomi yang digunakan yaitu Modern World System Theory dan Teori Dependensia atau ketergantungan yang saling berkaitan satu sama lain. Perdagangan internasional dilihat dari konsep kerja Modern World System ini cenderung akan menimbulkan hierarki kesejahteraan suatu Negara antara Negara core (maju) dan negara periphery (berkembang).

Indonesia merupakan salah satu Negara yang terkena dampak dari ‘keganasan’ teori ini. Salah satu contoh terkenalnya ialah terdapatnya perusahaan multinasional yaitu PT.Freeport Indonesia yang mengundang banyak polemik. Masuknya PT. Freeport Indonesia di Provinsi Papua merupakan hasil globalisasi ekonomi yang dibentuk oleh kebijakan nasional dengan tujuan sebagai percepatan pembangunan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. PT Freeport sendiri merupakan perusahaan modal asing McMorron asal Amerika Serikat yang berfokus pada produksi tambang tembaga, emas, dan perak dan berlokasi di Papua.

Seperti yang diketahui bahwa Indonesia merupakan negara dunia ketiga (negara berkembang) dengan Amerika Serikat sebagai negara core-nya. Hal ini dapat dilihat dari kepemilikan bahan mentah sebagai sumber produksi di Papua yang kemudian dikelola oleh PT. Freeport. Mengapa Indonesia bisa terjebak dari keganasan dampak teori ini? Hal ini tak lain dimulai ketika masa Orde Baru.

Baca Juga:  Hindari Penularan Hepatitis Misterius, Warga Diimbau Tak Saling Pinjam Alat Makan

Indonesia sebagai negara dunia ketiga pada saat itu kondisi ekonominya baru saja membaik namun belum stabil untuk dapat memiliki teknologi yang dapat mengelola sumber energi yang melimpah khususnya di Papua. Kondisi ini membuat Indonesia mau tidak mau meminta pertolongan kepada negara maju yang sudah unggul dalam bidang industry.

Hal ini dilakukan semata karena Indonesia ingin ikut maju dan unggul dalam bidang investasi dan perdagangan terutama pada bidang industri. Lalu, Amerika Serikat sebagai negara industri maju dengan teknologi dan modal yang dimilikinya melihat hal ini sebagai peluang yang menjajinkan, terlebih Amerika sadar bahwa negaranya merupakan negara maju yang berpengaruh bagi negara lain.

Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc adalah perusahaan asing pertama yang mengadakan kerjasama dengan pemerintah Indonesia dalam sektor pengolahan sumberdaya alam. Kejasama ini dimulai sejak 7 April 1967, berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagai landasan utama perjanjian kontrak serta Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan.

Dengan Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, lahirlah Kontrak Karya (KK) I yang berlaku selama 30 tahun. Isi dari Kontrak Karya ini bisa dibilang hanya menguntungkan pihak perusahaan. Mengapa? Karena seiring berjalannya waktu, tanpa disadari hal ini menghadirkan dependensi yang terjadi antara Indonesia terhadap Amerika Serikat.

Dependensi antara Indonesia dengan Amerika Serikat tersebut yang paling terlihat ialah adanya perbedaan yang cukup besar akan pembagian keuntungan. PT.Freeport Papua merupakan eksportir emas utama bagi Amerika Serikat. Freeport Papua memproduksi 230.000 metrik ton perharinya. Angka tersebut terus mengalami pertambahan dari tahun ke tahun sebagai permintaan dari Amerika Serikat.

Baca Juga:  Pantes Saja... Ini Cerita Maruarar Sirait saat Batal Dilantik Jadi Menteri, Jokowi-JK Bilang Begini

Hal ini dilakukan Amerika serikat semata karena emas sendiri memiliki value jangka panjang yang dapat menjadi penopang ekonomi Amerika akibat nilai emas yang cenderung stabil di pasar global. Maka Amerika melakukan hal tersebut untuk mendapatkan benefit yang besar dengan usaha yang sedikit.

Hal ini menjadi ironi dan terkesan kejam, karena dampak yang dirasakan oleh Indonesia khususnya penduduk Papua, berbanding terbalik dengan keuntungan yang didapat dari hasil penjualan Freeport.

Terbukti dengan masih terbelakangnya wilayah Papua dilihat dari infrastruktur dan pendidikan masyarakat Papua sendiri. Lalu terjadi ketimpangan yaitu minimnya upah buruh Freeport Indonesia apabila dibandingkan dengan cabang perusahaan Freeport di negara lain.

Rata-rata upah yang diberikan oleh Freeport di negara lain sewajarnya buruh pertambangan tersebut mampu mendapatkan 10-70 dolar per jamnya. Sedangkan bagi buruh Freeport di Indonesia mereka hanya mendapatkan 0,98-2 dolar Amerika per jamnya. Hal ini menunjukkan murahnya biaya tenaga buruh menjadi ciri negara dunia ketiga yang sangat digandrungi oleh para investor. Terlebih hal ini legal dilakukan karena terdapat dalam kontak kerja dan menjadi daya tarik bagi para investor.

Di samping itu berdasarkan kontrak kesepakatan yang telah ada, Indonesia cenderung dirugikan jika mengacu pada jumlah pajak yang dibayarkan oleh Perusahaan tersebut kepada pemerintah. Pajak yang dibayarkan tidak sebanding dengan jumlah sumber daya alam Indonesia yang sudah terkuras.

Baca Juga:  Pesan AHY Untuk Kader: Jangan Berucap dan Bertindak di Luar Kepatutan

Pada awal pembentukan perjanjian, tidak terdapatnya kewajiban mengenai pelestarian lingkungan hidup akibat belum terdapatnya UU yang mengatur akan hal tersebut. PT. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, yang dinamakan tax holiday.

Tax holiday ini artinya PT Freeport terbebas dari pajak selama 4 tahun pertama setelah mulai produksi. Pada tahun-tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 32%. Setelah itu pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,7%.

Investasi ini hanya berakhir menjadi seperti kegiatan eksploitasi, dan telah berlangsung lama sejak tahun 1967. Meskipun perjanjian telah dilakukan beberapa kali sampai pada akhirnya Indonesia mendapat 51% dari saham Freeport. Namun perkembangan yang besar ini pun dapat ditempuh dalam waktu yang lama.

Hal inilah yang menimbulkan ironi dan keresahan di masyarakat Indonesia khususnya Papua, karena Indonesia yang memiliki limpahan sumber daya alam, pada kenyataannya memiliki kualitas hidup yang jauh dari negara maju. Padahal Indonesia bisa memiliki kualitas hidup yang lebih baik, sesuai dengan penghasilan dan keuntungan yang bisa Indonesia terima atas kekayaan sumber daya alamnya.

Padahal harapan dilakukannya pembangunan sendiri ialah untuk membantu Negara menuntaskan kemiskinan. Pembangunan diharapkan menjadi sarana utama untuk mengangkat masyarakat dari kemiskinan (Winarno, 2014: 6). Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa niat awal Indonesia untuk melakukan pembangunan ironisnya berubah menjadi eksploitasi dan tanpa disadari dapat memberi dampak buruk yang berkepanjangan, dan secara konsisten hanya memberikan kesejahteraan bagi negara yang ber-investasi di Indonesia.

Isi tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis