Nilai Tradisi Mappalette Bola

Penulis: Vanesa Mauren, (Mahasiswa di Universitas Prasetiya Mulya)

Dalam negara yang plural seperti Indonesia tentunya terdapat banyak keragaman dengan keunikan masing-masing mulai dari ras, agama, dan budaya. Budaya adalah cara hidup sekelompok orang yang diwariskan turun temurun supaya tidak punah.

Setiap kelompok masyarakat yang plural pasti memiliki budaya yang berbeda-beda dan budaya ini dijadikan identitas yang melekat. Sama halnya dengan budaya Mapallete Bola yang menggambarkan keunikan dan ciri khas masyarakat bugis.

Mappalette Bola sendiri budayanya sudah ada dari zaman dulu dengan dasar pandangan masyarakat bugis bahwa rumah mereka adalah tanah leluhur mereka.

Dengan ini, masyarakat bugis beranggapan bahwa keutuhan rumah tersebut harus dijaga maka tidak heran jika masyarakat bugis melakukan tradisi ini jika ada orang yang tanah nya baru dijual sehingga harus pindah ke lokasi lain.

Baca Juga:  Ratusan Koper Calhaj Purwakarta Diberi Gantungan Unik

Dalam melakukan tradisi Mappalette Bola ini ada beberapa langkah yang wajib untuk diikuti. Langkah pertama adalah mengeluarkan perabotan rumah yang terbuat dari kaca atau bahan pecah belah terlebih dahulu.

Kedua, perabotan berat lainnya seperti lemari diikat pada pojok ruangan supaya tidak berpindah tempat saat prosesi berlanjut. Ketiga, pemilik rumah akan menancapkan bambu pada kaki rumah untuk menjadi pegangan para warga saat proses pemindahan.

Setelah melakukan langkah ini ritual pemindahan rumah pun dilaksanakan dan diwali dengan pimpinan doa oleh ketua adat setempat. Setelah memimpin doa, beliau akan menentukan irama dan ketukan langkah warga pria yang mengangkat rumah tersebut. Kedua hal ini sangat penting dilakukan untuk mempermudah proses pemindahan rumah. Penting juga setelah 1 tahun melaksanakan tradisi ini, pemilik rumah akan melakukan tradisi maccera bola dengan mengoleskan darah ayam pada tiang rumah untuk menghindari malapetaka.

Baca Juga:  KBM Tatap Muka Mei 2021, Dinkes Garut Kaji Zona Aman Covid-19

Selain masyarakat pria yang berperan penting pada ritual ini, perempuan juga sama halnya memiliki peran yaitu dengan menyediakan makanan untuk dikonsumsi pria. Makanan yang dikonsumsi pun berbeda sebelum dengan sesudah dilakukannya ritual pemindahan rumah ini.

Pada sebelum melakukan ritual, pria akan mengonsumsi kue tradisional khas bugis seperti bandang, baronggo, suwella, dsb. Sedangkan setelah pemindahan rumah, pria akan mengonsumsi sup “saudara” dengan masakan ikan bandeng.

Melalui tradisi Mappalette Bola ini ada beberapa nilai yang bisa diambil dan tentunya ada kaitan dengan pancasila. Nilai yang bisa kita dapat adalah tradisi Mappalette bola ini merupakan tindakan nyata dari gotong royong yang sudah menjadi cita-cita bangsa sejak jaman dulu.

Dengan sikap gotong royong ini hubungan antar masyarakat Indonesia akan semakin erat walaupun banyak perbedaan yang bisa memecah belah. Wujud dari sila pancasila yang terkandung pada tradisi ini yang menjadikan Indonesia lebih kuat dibanding negara lain.

Baca Juga:  Bupati Anne Ratna Minta Penyaluran Gas 3 Kg Bersubsidi Tepat Sasaran

Tentunya selain hubungan tradisi ini dengan pancasila, ada pula hubungannya dengan ikrar pemersatu bangsa yaitu Bhineka Tunggal Ika yang berbunyi “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Nilai yang dijunjung sama yaitu gotong royong dimana masyarakat pria akan bersama-sama menggotong untuk memindahkan juga.

Ada juga masyarakat yang dengan sukarela membantu tanpa melihat perbedaan latar belakang dan sebagainya. Para wanita pun bergotong royong menyediakan makanan tanpa melihat siapa yang akan memakan masakannya. Tanpa adanya gotong royong dan kesatuan ini rumah akan sulit untuk dipindahkan dan ritual akan sulit untuk dilakukan.



Isi tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis