Margaret Thatcher, Pemimpin Perempuan Kontroversial di Inggris, Dicintai Sekaligus Dibenci

Penulis: Anya Putri (Anggota Perempuan Indonesia Satu)
Banyak kalangan berpendapat bahwa seorang perempuan bukan sosok yang cocok untuk memimpin negara. Perempuan dianggap terlalu emosional yang berarti cenderung mengedepankan perasaan ketimbang akal dalam mengambil keputusan.

Masyarakat pun masih skeptis, menyangsikan kepiawaian perempuan dalam memimpin situasi kritis. Bahkan kaum hawa dianggap tidak mampu memimpin dalam kondisi negara yang genting. Negara demokrasi semaju Amerika Serikat pun belum pernah mencetak presiden perempuan dalam sejarah mereka.

Meski demikian, nyatanya pernah lahir seorang perempuan yang menjadi pemimpin negara Inggris dengan julukan “Iron Lady”, saking keras kepala dan memiliki sikap yang tidak mau berkompromi dengan prinsip.

Adalah Margaret Thatcher, perdana menteri Inggris perempuan pertama dan satu-satunya yang menjabat hingga hampir tiga periode kepemimpinan, dari tahun 1979-1990. Jurnalis Uni Soviet (sekarang Rusia) menjulukinya Iron Lady karena sikapnya yang keras menentang komunisme.

“Ketika Anda memimpin sebuah negara seperti Inggris, sebuah negara yang kuat, sebuah negara yang memimpin dalam masalah-masalah dunia di saat indah maupun buruk, sebuah negara yang harus selalu bisa diandalkan, maka Anda harus memiliki sentuhan besi dalam diri Anda,” kata Thatcher waktu itu.

Dalam sebuah pidato, dia juga pernah menyatakan secara terang-terangan kritik kerasnya terhadap politik represif Uni Soviet. Kala itu dia menemukan rekan sepemikiran, yaitu Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan.

Baca Juga:  Disdagin Kota Bandung Klaim Harga Beras Naik Akibat 2 Hal Ini

Thatcher pun membantu Reagan menyudahi perang dingin dengan memicu keruntuhan Uni Soviet, yang berhasil dilakukan berkat kerja sama dengan Mikhail Gorbachev. Namun di sisi lain, Thatcher masih bersahabat dengan pemimpin Soviet itu dan menyebutnya sebagai “pria yang bisa diandalkan”.

Kepemimpinan Thatcher memang penuh kontroversi. Dia begitu keras mengusung prinsipnya, bahkan tidak segan mengobarkan perang dengan negara lain demi kedaulatan negara.

Dia pernah mengirim pasukan Inggris untuk berperang melawan Argentina. Waktu itu pada 2 April 1982, rezim militer Argentina menyerang dan menduduki Kepulauan Falkland yang berada di bawah administrasi Inggris.

Tanpa ragu, Thatcher pun mengirim angkatan laut Inggris untuk merebut kembali Falkland. Dua bulan kemudian, Argentina menyerah, Inggris pun mengantongi kemenangan dengan merebut kembali Kepulauan Falkland.

Namun harga yang dibayar cukup mahal. Inggris kehilangan 255 tentara dan beberapa kapal perang. Sementara itu di kubu Argentina, sebanyak 646 tentara tewas. Pada tahun 2013, ketika Thatcher meninggal, para veteran perang Falkland di Argentina bersuka cita merayakannya.

Dibenci dan Dicintai

Thatcher sebagai pemimpin negara dicintai sekaligus dibenci oleh warga Inggris. Kebijakannya begitu kontroversial, meskipun banyak pencapaiannya yang dipuji.

Publik pun terbelah dua dalam menilai Thatcher. Headline Daily Mirror yang beraliran kiri pernah menulis judul, “Perempuan yang Membelah Sebuah Bangsa”, sementara Daily Mail yang lebih kanan memasang judul “Perempuan yang Menyelamatkan Inggris”.

Baca Juga:  Pelaksanaan PTMT di Kabupaten Tasikmalaya Manfaatkan Siswa Jadi Milenial Siaga Covid-19

Pasalnya, politikus Partai Konservatif ini berani mengambil kebijakan yang ekstrem, termasuk dalam urusan ekonomi. Kala itu perekonomian Inggris sedang carut marut, inflasi melonjak hingga 25%, tingkat pengangguran pun tinggi.

Serikat buruh dan Partai Buruh sangat kuat sehingga bisa menyingkirkan pemimpin partai. Sampah bertumpuk di jalanan karena buruh sering mogok dan tak bekerja. Selain itu, industri-industri besar dikuasai oleh perusahaan negara.

Untuk menghadapi situasi tersebut, Thatcher menetapkan target inflasi. Dia juga memangkas anggaran pemerintah dengan menghapus berbagai subsidi dan anggaran sosial. Dia pun menerapkan racikan deregulasi keuangan, menerapkan pasar bebas dan pajak rendah sejak pertama kali menjadi perdana menteri Inggris pada tahun 1979.

Kebijakan tersebut memukul perekonomian warga Inggris menjadi semakin terpuruk, pengangguran naik hingga 3 juta orang, sebuah angka fantastis kala itu.

Dia Thatcher juga memprivatisasi banyak perusahaan pemerintah. Di awal pemerintahannya, dia melego British Aerospace and Cable & Wireless, British Telecom, Britoil, British Gas, dan Jaguar.

Setelah keringat panjang dan perdebatan tiada akhir, akhirnya pada tahun 1983, inflasi Inggris kembali menurun dari 22% hingga ke bawah 4%.

Baca Juga:  Edhy Prabowo Tak Ajukan Keberatan Meski Didakwa Terima Suap Rp25,7 Miliar

Tak hanya itu, sikap Inggris yang tidak mau bergabung dengan Uni Eropa juga diusung pertama kali oleh Thatcher, dan masih menjadi warisannya hingga kini. Sejak awal dia skeptis dengan rencana penyatuan Eropa dan menentang keras supremasi Eropa.

Keteguhan hatinya dalam memegang prinsip nyatanya tak selalu mendapatkan dukungan. Thatcher harus mengalami percobaan pembunuhan pada 1984 di sebuah hotel tempat dia dan pejabat tinggi lainnya berkumpul.

Aksi teror tersebut membuat beberapa orang tewas dan mengalami luka-luka, sedangkan Thatcher tidak terkena dampak pengeboman tersebut. Namun toh kejadian mengerikan itu tak menyurutkan langkahnya untuk tetap menjalankan kebijakan-kebijakan yang kontroversial itu.

Di tengah periode ketiga masa jabatannya, Thacher memilih mengundurkan diri pada November 1990. “Kami tinggalkan Downing Street untuk terakhir kalinya setelah 11 setengah tahun yang menakjubkan, dan kami sangat senang meninggalkan Inggris dengan keadaan yang lebih, lebih baik dibanding ketika kami datang,” kata dia dalam pidato perpisahannya.

Thatcher meninggal di usia 87 tahun setelah menderita stroke pada 8 April 2013. Setelah melakukan misa di Katedral St. Paul, kemudian dilangsungkan upacara pemakaman beserta penghormatan secara militer pada 17 April 2013. (*)

Isi tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis