Melirik Eksistensi Pengrajin Sapu Ijuk Asal Purwakarta di Tengah Pandemi Covid-19

JABARNEWS | PURWAKARTA – Kampung Sukaresmi, Desa Sindangpanon, Kecamatan Bojong, merupakan perkampungan yang digadang-gadang sebagai salah satu sentra kerajinan sapu ijuk di Kabupaten Purwakarta.

Di perkampungan tersebut ada lebih dari 20 perajin terlihat tengah mengerjakan aktivitasnya, mulai dari menyisir ijuk dan merapikannya. Sebagian perajin lain tengah merangkai ijuk menjadi sapu.

Salah satu pengrajin sapu di Kampung Sukaresmi, Agus Maulana (42) mengaku dalam setiap hari memproduksi sapu ijuk dibantu sang istri dan dua pegawai. Setiap hari dirinya mampu memproduksi 40-60 sapu ijuk. Namun jumlah itu tergantung pesanan.

“Saya menggeluti kerajinan tangan ini sejak 2000. Dalam satu hari, mampunya paling banyak membuat 60 buah sapu,” ujar Agus, pada Selasa (3/8/2021).

Hasil kerajinan buah tangan Agus sebagian besar dikirim ke pasar-pasar di Purwakarta maupun ke luar kota, misalnya ke Karawang, Subang dan Bandung.

Baca Juga:  Tempat Wisata di Kabupaten Bandung Ditutup, Ini Kata GPK Jabar

“Karena soal kualitas sapu ijuk saya ini bisa bersaing dengan sapu ijuk yang berasal dari daerah lain,” tutur pria yang akrab disapa Kang Ireng itu.

Untuk mendapatkan bahan dasar ijuk, Ia membeli dari petani sekitar dengan harga Rp 5 ribu rupiah per lembar.

Teknis pengolahannya pun tidak sesulit yang dibayangkan. Ijuk yang telah diperoleh disortir kemudian dipotong sesuai kebutuhan lalu masuk ke teknis penyisiran untuk merapihkan ijuk itu sendiri menggunakan besi runcing.

Setelah itu, ijuk ditumpuk beberapa lembar kemudian digulungkan ke batang sapu yang terbuat dari bambu atau rotan lalu diikat. Kemudian di bagian atas ijuk dianyam untuk memperkuat kerapatan terhadap batang sapu.

Baca Juga:  Pemkab Bekasi Bentuk FPSS Diharapkan Bisa Bantu Normalisasi Sungai

Kang Ireng menjelaskan sapu ijuk yang ia produksi memiliki dua dua pilihan. Yakni sapu ijuk batang rotan seharga Rp. 15 ribu rupiah hingga Rp. 20 ribu rupiah dan sapu ijuk menggunakan batang bambu seharga Rp 7 ribu rupiah hingga Rp.10 ribu rupiah untuk harga eceran.

“Perbedaan dari dua produk itu hanya dari teknis penganyaman. Untuk produski sapu ijuk ini tidak semua orang biasa, harus memiliki ketelatetan dan keahlian khusus,” jelasnya.

Kang Ireng bmengaku hampir lima bulan ini barang dagangannya sepi pembeli.

Meski begitu, dia tetap berjuang agar usahanya tetap berjalan di tengah kondisi ekonomi yang kian sulit imbas pandemi Corona.

Dari usahanya itu, ia harus menghidupi keluarga dan pekerjanya. Setiap hari, mereka bekerja di halaman rumahnya yang disulap menjadi tempat pembuatan sapu ijuk.

Baca Juga:  Api di Kilang Balongan Belum Padam, Penyelidikan Polda Jabar Tertunda

Kang Ireng mengaku sebelum adanya pandemi Covid-19, sapu ijuk yang diproduksinya gampang untuk menjualnya. Namun selama Corona dia kesulitan menjual sapu buatannya.

“Waktu ada COVID itu kan terhambat juga, jalan ditutup. Ini juga baru mulai lagi produksi setelah 5 bulan berhenti akibat Pandemi Corona,” tuturnya.

Di tengah kondisi sulit yang dirasakannya, kini ada harapan untuk bisa mengembalikan roda usahanya.

Kang Ireng mengaku, saat ini mulai datang pesanan sapu dari sejumlah warga. Dia berharap bisnis yang dijalaninya bisa kembali pulih agar dapurnya bisa tetap ngebul.

“Yah semoga sekarang bisa tumbuh lagi, kalau tidak ada yang membeli bisa-bisa merumahkan pekerja,” harapnya. (Gin)