Konflik Melahirkan Kemerdekaan RI

Penilis: Bram Herdiana (Guru SMK Pariwisata Telkom Bandung)

Konflik akan terjadi apabila ada perbedaan pemahaman antara dua orang atau lebih terhadap berbagai perselisihan, ketegangan, kesulitan-kesulitan diantara para pihak yang tidak sepaham. Konflik juga bisa memicu adanya sikap berseberangan antara kedua belah pihak dimana masing-masing pihak memandang satu sama lainnya sebagai lawan atau penghalang dan diyakini akan mengganggu upaya tercapainya tujuan dan tercukupinya kebutuhan masing-masing.

Konflik bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi konflik dapat dipandang sebagai dinamisator dalam setiap aktifitas organisasi itu sendiri, tanpa konflik organisasi akan mati dan dengan adanya konflik organisasi akan hidup dan berkembang.

Secara teori konflik memiliki dua sifat yaitu konstruktif atau positif serta destruktif dan negatif. Istilah konflik konstruktif memilik arti berdampak positif bisa membawa perubahan baru atau mengantarkan kelompok-kelompok yang berkonflik pada situasi yang lebih menguntungkan dalam kehidupan sosial.

Konflik bersifat konstruktif bisa menjadi prioritas atau kebiasaan dibandingkan konflik destruktif yang merusak atau menghancurkan. Konflik konstruktif dimunculkan dengan adanya upaya menjaga kepentingan masing-masing, namun tidak menghilangkan kepentingan umum yang lebih pentingdi banding kepentingan pribadi.

Konflik sosial, khususnya yang bersifat konstrutif dibutuhkan sebagai media dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan secara sosial. Manusia sebagai mahluk sosial yang memang tidak bisa hidup sendiri sehingga masyarakat tidak bisa lepas dari konflik sosial karena selalu berhadapan dengan manusia lainnya.

Baca Juga:  Uu Ruzhanul Ulum Bicara Soal Pengembangan Usaha Melalui SCF, Apa Itu?

Perbedaan-perbedaan secara individu atau kelompok menjadi penyebab konflik sosial seperti perbedaan latar belakang kedua belah pihak hingga terjadi konflik, perbedaan kepentingan diantara individu dan kelompok, perbedaan kebudayaan di masyarakat serta perubahan sosial.

Ada satu contoh konflik sosial yang bersifat konstruktif yaitu peristiwa Rengasdengklok sebuah peristiwa menjelang proklamasi Republik indonesia merdeka. Peristiwa Rengasdegklok muncul karena adanya perbedaan pendapat tentang waktu Indonesia merdeka, perbedaan pendapat terjadi antara golongan tua dengan golongan muda.

Golongan muda mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemederkaan RI karena Jepang sudah menyerah kepada Sekutu, namun kata Golongan tua nanti saja. Hal ini membuat golongan muda tidak bisa menerima alasan Soekarno yang mewakili golongan tua sesuai rencana Jepang pada tanggal 24 Agustus 1945.

Menurut Syahrir, keinginan Jepang yang menunda-nunda itu hanya siasat semata sebagai tipu muslihat. Namun, Soekarno masih mengikuti kata Jepang. Pada 15 Agustus 1945, para pemuda pun mengadakan rapat yang di pimpin Chaerul Saleh untuk merumuskan pelaksanaan kemerdekaan.

Rapat tersebut menyatakan bahwa kemerdekaan sepenuhnya berasal dari keputusan rakyat Indonesiadan bukan dari Jepang. Hasil rapat ini disampaikan kepada Soekarno pada malam harinya, para golongan muda merasa kecewa atas jawaban dari Soekarno. Mereka lalu menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus 1945 ke Rengasdengklok agar terhindar dari pengaruh Jepang.

Baca Juga:  Wah! Ada Festival Kuliner Terbesar di Bandung Berhadiah Ratusan Juta Rupiah

Perbedaan pendapat yang terus terjadi antara sampai dengan terjadinya kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta serta Mr. Achmad Subardjo dengan golongan muda tentang kapan proklamasi akan dilaksanakan Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 di

Lapangan IKADA (yang sekarang telah menjadi Lapangan Monas) atau di rumah Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56.

Akhirnya, dipilihlah rumah Bung Karno karena di Lapangan IKADA sudah tersebar bahwa ada sebuah acara yang akan diselenggarakan. Kesepakatan antara golongan tua dengan golongan muda telah mengantarkan negeri ini menuju pilar-pilar kedaulatan menjadi negara merdeka pada 17 Agustus 1945.

Dari peristiwa Rengasdengklok telah muncul gambaran bahwa konflik tidak harus selalu berakibat negatif, tetapi bisa juga berdampak positif dan besar. Indonesia akhirnya mencapai kemerdekaannya yang sudah lama terlempar dari jiwa rakyat Indonesia.

Kepentingan umum di atas segalanya meski konflik berawal dari salah satu penyebabnya yaitu perbedaan pendapat, sifat berjiwa besar dan juga saling menghormati dapat mengubah suatu konflik sosial bisa memunculkan sebuah perubahan besar atau revolusi. Perbedaan diperlukan agar terjadi dinamika yang membuat keadaan sosial lebih berkembang, sebab dalam kehidupan sosial, konflik sosial selalu ada namun bukan untuk dihindari tetapi

dikelola menjadi sebuah wahana baru untuk melanjutkan kehidupan berikutnya yang lebih membahagiakan dengan tatanan yang lebih baik.

Baca Juga:  Tiga Cara Menjaga Kesehatan Mata Saat Lama Menatap Layar Monitor

Mengutip dari Wikipedia, Manajemen Konflik adalah sebuah proses mengelola konflik dengan menyusun sejumlah strategi yang dilakukan oleh pihak-pihak berkonflik sehingga mendapatkan resolusi yang diinginkan.

Sedangkan Bercovitch dan Diehl dalam tulisannya yang berjudul Conflict and Conflict Management in Organizations, A Framework for Analysis menyatakan bahwa manajemen konflik dapat dikatakan berhasil secara efektif apabila dapat meminimalisir gangguan dari konflik yang terjadi dan memberikan solusi yang memuaskan dan dapat diterima oleh pihak yang berkonflik.

Masyarakat negeri ini yang sudah berusia 76 tahun kemerdekaannya perlu mulai membiasakan diri dalam kehidupannya menjalankan manajemen konflik. Keadaan masyarakat Indonesia adalah masyarakat multikultural atau masyarakat yang beraneka ragam latar belakang sehingga rawan konflik sosial. Ditambah juga dengan sikap mencegah konflik lebih baik dibanding mencari resolusi konflik bisa menyebabkan negeri ini selalu tenang. (*)

Isi tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis