Rekonsiliasi

Akhir Cerita

Pemilu kepala daerah serentak yang telah dilaksanakan 27 Juni 2018, diseluruh penjuru Indonesia, menghasilkan sebuah drama politik, bagaimana tidak, total sebanyak 171 daerah menjadi saksi, panasnya pertarungan politik antar politisi. Terbaru pada tanggal 8 Juli 2018, sudah dimulainya penetapan dari komisi pemilihan umum daerah masing-masing, untuk mengesahkan hasil pemilu, sebagai langkah awal, bergulirnya tongkat estafet kepemimpinan daerah, kepada orang yang memenangi pemilu, sebagai mandataris rakyat, dengan dalih vox populi vox dei, suara Tuhan adalah suara rakyat.

Pemilu merupakan cara berdasarkan konstitusional, dalam mendapatkan, mempertahankan, bahkan merebut kekuasaan, karena rakyatlah yang menentukan langsung, sehingga dapat dimaklum, penyelenggaraan pemilu memang penuh dengan intrik politik, drama yang tidak hentinya dikonsumsi oleh publik. Hakikat pemilu merupakan media pendidikan politik masyarakat, yang pada akhirnya berusaha mewujudkan masyarakat Indonesia yang baik dan cerdas, to be a good and smart citizenship, warga negara yang paham akan hak dan kewajibanya.

Penyelenggaraan demokrasi memang harus diiringi dengan kecerdasan masyarakat, karena demokrasi akan berkualitas jika masyarakatya cerdas dan berkecukupan, dengan begitu maka praktik seperti politik uang, kampanye hitam, tidak akan mempengaruhi esensi dari penyelenggaraan pemilu, yang wajib hukumnya menghasilkan pemimpin yang inovatif, bertanggung jawab, bahkan mampu mewujudkan kesejahteraan sosial bagi masyarakatnya.

Berbagai catatan yang telah dibukukan dalam penyelenggaraan pilkada serentak 2018, menjadi bahan evaluasi bagi penyelenggara negara, untuk terus memperbaiki pesta demokrasi di Indonesia, sebelum menatap Pilpres 2019. Dapat dikatakan, pilkada serentak 2018 ini berjalan lancar dan baik, walaupun masih terdapat beberapa kesalahan teknis, seperti tidak sesuainya surat suara dengan jumlah DPT dibeberapa daerah, kotak suara yang tidak disegel, surat suara yang hilang, dan yang lainnya, itulah yang harus dievaluasi bersama, agar semakin kecilnya kemungkinan kecurangan dalam pemilu, karena pemilu merupakan tanda kedaulatan berada ditangan rakyat.

Berbagai fenomena politik yang terjadi dalam penyelenggaraan pilkada serentak 2018, memang harus disikapi secara dewasa dan bijaksana, jangan sampai yang menang jumawa, dan yang kalah tidak terima, layaknya seperti olah raga sikap sportif harus diperlihatkan, karena menandakan sikap kenegaraan seseorang, jika terindikasi kecurangan dan hal merugikan maka silahkan dilaporkan kepada yang berwenang, terlebih Mahkamah Konstitusi.

Baca Juga:  Eceng Gondok di Jatiluhur Tumbuh Subur Saat Musim Hujan, Ini Langkah Satpolair Polres Purwakarta

Pilkada Purwakarta

Sebagai Kabupaten yang berada dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, sudah sewajarnya Purwakarta menyelenggarakan pemilu melalui komisi pemilihan umum daerah, melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan, agar bisa menjalankan amanah dari Undang-Undang. Kita mengetahui bahwa Pilkada Purwakarta diikuti oleh tiga pasangan calon, yang diantaranya adalah, Padil-Acep Maman, Anne-Aming, Zainal-Lutfhi. Jika diurutkan menurut perolehan suara maka, Anne-Aming 43,80 persen, Zainal-Lutfhi 38,54 persen, Padil-Acep Maman 17,66 persen, partisipasi masyarakat Purwakarta sebesar 78,75 persen (Liputan 6, 2018).

Dengan demikian maka dapat dipastikan selama lima tahun ke depan Purwakarta akan dipimpin oleh Bupati perempuan pertama kali dalam sejarah Purwakarta, yang sejatinya merupakan istri dari Bupati Purwakarta periode sebelumnya, Dedi Mulyadi. Hasil pilkada Purwakarta ini memang menuai pro dan kontra, pro beberapa relawan mengatakan penyelenggaraan pilkada Purwakarta yang aman dan kondusif, kontra mengatakan bahwa terdapat beberapa pelanggaran dalam penyelenggaraan pilkada Purwakarta, yaitu penggelembungan suara secara sistematis dibeberapa titik pemungutan suara, guna memenangkan calon tertentu (Sindonews.com. 2018). Dalam dunia demokrasi hal tersebut memang biasa terjadi perbedaan dan pertentangan, yang harus diselesaikan melalui pihak yang berwenang.

Baca Juga:  Panas! Haru Suandharu dan Ridwan Kamil Debat di Medsos, Persoalkan Anggaran Peremajaan Alun-alun

Hal yang lebih menarik, walau pada awalnya pilkada Purwakarta terkesan berjalan monoton dan belum memberikan gagasan yang inovatif, tetapi setelah proses hitung cepat dan hitungan resmi komisi pemilihan umum daerah Purwakarta, mulailah timbul riak-riak politik, seperti aksi menolak hasil pemilu yang dinamakan sebagai aksi 47, diinisiasi oleh Persatuan Ulama Purwakarta (PUP), massa aksi menuding bahwa komisi pemilihan umum Kab. Purwakarta telah melakukan pelanggaran dan harus dihukum oleh Panwaslu (Pikiran-rakyat, 2018), dan yang lainnya, kebebasan harus diwadahi oleh negara, sebagai amanah dari Undang-Undang no. 9 Tahun 1998.

Dunia politik tentu merupakan dunia yang tidak bisa diprediksi secara pasti, riak politik merupakan salah satu dampak dari kepentingan politik yang tidak terakomodir, maklum, politik jika tidak kompromi, maka terjadi konflik. Penyelenggaraan pemilu serentak 2018, khususnya di Purwakarta, memang harus segera dilupakan, termasuk pihak yang sedang berkepentingan, selagi melakukan upaya hukum, guna mendapatkan keputusan yang seadil-adilnya, yaitu melaporkan ke Mahkamah Konstitusi, semua pihak harus menata kehidupan sosial politik masyarakat kembali, yang berpotensi pecah akibat perbedaan dalam pilihan politik.

Kita tegaskan kembali, bahwa persatuan dan kesatuan nasional adalah kepentingan yang di atas segalanya, itu juga berlaku bagi aktor politik yang mengikuti kontes pilkada, baik yang menang dan kalah harus segera mengakhiri drama politik, dan bekerja kembali untuk publik. Jangan sampai dikarenakan nafsu untuk berkuasa, fenomena politik direduksi menjadi bahan amarah publik, dan berpotensi menimbulkan kegaduhan yang sia-sia dimasyarakat, seharusnya politisi sadar, ketika mereka mengikuti kontes pilkada langsung, mereka harus siap menang dan siap kalah, berlapang dada, bahkan saling membantu demi terwujudnya kesejahteraan umum dalam masyarakat. Sikap kesatria yang hanya mampu dimiliki oleh seorang negarawan.

Terkecuali jika memiliki orientasi lain, dalam mengikuti kontes pilkada, maka lain cerita kepentingannya, selayaknya politisi harus mencerminkan sifat yang baik, karena mereka menjadi tokoh publik, dan berjuang murni demi kepentingan negara Indonesia, terlepas mereka berjuang melalui koalisi maupun oposisi, karena politik hakikatnya berbicara mengenai kesejahteraan dan idealitas yang baik, walaupun pada pelaksanaannya selalu beririsan dengan kekuasaan, kepentingan bahkan kemunafikan.

Baca Juga:  Eceng Gondok Tutupi Sebagian Besar Permukaan Waduk Jatiluhur, Warga : Hambat Perekonomian

Rekonsiliasi

Perhelatan pilkada telah dilewati, apapun keputusannya, semua harus berlapang dada menerima, karena reaksi yang dikeluarkan oleh politisi dalam menyikapi hasil pemilu, menggambarkan sifat kenegarawanannya, Indonesia terlalu besar jika dikorbankan demi kepentingan politik belaka. Semua pihak harus berdamai, dan elit politik harus mampu menenangkan masyarakat, usai perhelatan pilkada, guna meminimalisir timbulnya potensi konflik.

Menang kalah dalam pilkada adalah hal yang biasa, politisi harus memiliki jiwa ksatria, dan menularkan kepada pendukungnya. Rekonsilisasi sangat baik dilakukan usai penyelenggaraan pesta demokrasi, yang pada intinya adalah perdamaian, dan upaya memulihkan kembali hubungan politik. Jangan karena pilihan politik yang berbeda masyarakat terpecah belah, seharusnya dengan menyikapi fenomena politik, menghasilkan masyarakat yang dewasa, dan penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia menjadi lebih berkualitas.

Salah kaprah jika fenomena politik menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa, hubungan kemanusiaan harus melebihi hubungan politik, Inilah dunia politik, semua harus siap dengan segala dinamikanya, yang pada akhirnya hanya berbicara mengenai kepragmatisan saja.

Jabarnews | Berita Jawa Barat

Penulis adalah Mahasiswa Departemen Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI