Dedi Mulyadi: Saya Bukan Cebong, Kampret, dan Kardus, Saya Golkar

JABARNEWS | PURWAKARTA – Budayawan Jawa Barat Dedi Mulyadi menyampaikan seruan moral dalam kontestasi politik. Menurut dia, Agama dan Ideologi tidak sepantasnya dieksploitasi untuk kepentingan politik pragmatis.

Seruan itu disampaikan Ketua DPD Golkar Jabar tersebut di kediamannya. Tepatnya, di Desa Sawah Kulon, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Purwakarta, Kamis (9/8/2018).

“Beberapa tahun belakangan ini publik seolah terbelah dua. Padahal sebenarnya mereka satu bangsa. Satu kubu merasa paling berhak atas narasi nasionalis-pluralis. Kubu yang lain merasa memiliki otoritas berjihad melalu sosial media dengan narasi agama,” katanya.

Menurut Dedi, fenomena ini harus segera dihentikan. Pasalnya, jika hal ini terus dibiarkan maka energi anak bangsa akan habis untuk hal yang tidak substansif. Sementara, pemikiran sekaligus pembangunan harus terus berlangsung secara berkesinambungan.

Baca Juga:  Oktober 2020, Rusia Jadwalkan Vaksinasi Massal Virus Corona

“Kritik di sosial media itu kini lebih mengarah pada ejekan. Bukan bersifat otokritik yang konstruktif agar ada perbaikan kepemimpinan. Sehingga, menurut saya kesinambungan positif dalam berbagai bidang lebih utama dibanding perdebatan yang tersaji,” ujarnya.

Maesenas Budaya Sunda itu mencontohkan fenomena dua kubu yang tidak kunjung ‘move on’ di Pilkada Jakarta. Kontestasi politik Tahun 2017 lalu telah melahirkan perubahan kepemimpinan. Akan tetapi, kesinambungan pembangunan tidak terjadi.

“Kalau mau objektif, Pak Ahok ada sisi keberhasilannya, tetapi ada juga sisi lemahnya. Begitupun Anies-Sandi, ada fokus yang menjadi perubahannya, ada juga hal yang dia lupakan,” katanya.

Kawasan Kalijodo menjadi salah fokus telaah Dedi. Kata dia, seringkali trade mark personal mengalahkan kepentingan yang lebih besar. Kalijodo dianggap publik sebagai trade mark Ahok. Jika dilanjutkan Anies-Sandi akan menimbulkan anggapan tidak tercipta tren kreativitas baru.

Baca Juga:  HANI 2020, AOP Siap Wujudkan Komunitas Otomotif Bersih Dari Narkoba

“Kalau mau jujur, pemimpin di setiap masa pastilah memiliki jasa. Apabila bermanfaat, saya kira layak untuk diteruskan,” tuturnya.

Pusaran Politik Pilpres 2019

Bukan hanya Pilkada DKI 2017, Pilpres 2019 pun menurut Dedi menyisakan residu energi dari Pilpres 2014 lalu. Narasi yang persis sama masih berseliweran menghiasi time line sosial media dalam rangka menggiring opini publik.

Parahnya, baik narasi nasionalisme maupun agama telah diarahkan untuk menyulut emosi publik. Tingkat kerusakan tenun kebangsaan menurut Dedi, akan semakin parah jika hal ini tidak dihentikan.

“Kalau dua kubu ini mengalami kekecewaan, mereka bisa menjadi oposan yang absurd. Ini buah dari kegagalan mengelola politik aliran, timbul ketidakpercayaan terhadap elit politik,” katanya.

Baca Juga:  Bersiap Kembali Ke Pondok, Ratusan Santri di Cirebon Ikuti Tes Swab

Keriuhan perdebatan ini menurut Dedi justru tidak terjadi di kalangan elit politik. Tidak ada narasi nasionalisme maupun agama yang menjadi pokok bahasan.

Elit hanya berfokus pada peningkatan nilai elektoral partai. Hal ini tercermin dari alotnya penentuan nama cawapres dari kubu petahana maupun penantang di Pilpres 2019. Kejujuran menurut dia, harus menjadi panglima dalam kehidupan politik kebangsaan.

“Dua narasi besar yang menjadi perdebatan itu tidak kita temukan di elit politik kita. Publik terbelah menjadi cebong dan kampret, sementara elit baik-baik saja. Bahkan kini muncul istilah baru, ada kardus pula. Maka saya tegaskan, saya bukan cebong, saya bukan kampret, saya bukan kardus, saya ini golkar,” katanya. [jar]

Jabarnews | Berita Jawa Barat