Hakim Salah Kaprah, Kok Lama Banget Benernya

HAKIM wajib memvonis rehabilitasi dan kewajiban penegak hukum untuk menempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi selama proses pemeriksaan serta kewajiban orang tua yang keluarganya terlibat menjadi penyalah guna narkotika.

Kewajiban hakim, penegak hukum dan orang tua ini adalah perintah undang undang, pemahaman yg tidak jernih terhadap tersangka atau terdakwa penyalah guna narkotika untuk pemakaian sehari (dibawah 1 gram untuk sabu) dan digunakan untuk diri sendiri menjadi penyebab para penyalah guna ini tidak pulih/sembuh bahkan menjadi lebih parah apabila ditahan dan vonis penjara.

Sedangkan tujuan UU narkotika wajib ditempatkan dilembaga rehabilitasi dan wajib divonis rehabilitasi supaya sembuh/pulih dan dengan maksud tidak menjadi penyalah guna lagi.

Penegak hukum wajib menggunakan upaya paksa berupa penempatan kelembaga rehabilitasi (pasal 13 PP 25/2011) dan hakim wajib menjatuhkan sangsi rehabilitasi sesuai pasal 103/1 apabila amar putusannya terbukti sah dan menyakinkan terdakwa sebagai penyalah guna bagi diri sendiri agar orang tua dan masarakat punya keberanian untuk menyembuhkan penyakit adiksi yang diderita keluarganya.

Banyak masarakat yang tidak mendapatkan sosialisasi bahwa penyalah guna itu adalah orang sakit (pasal 1/1) berpotensi ketergantungan/kecanduan narkotika yang disebut pecandu. Penyakit ini tidak mungkin sembuh tanpa direhab.

Secara medis penyalah guna itu kurang lebih 99% adalah pecandu sedang yang 1% korban penyalahgunaan narkotika. Spektrum penyalah guna narkotika mulai korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna narkotika dan pecandu.

Sedangkan pecandu terdiri dari pecandu ringan, pecandu sedang dan berat. Semua penyalah guna ini diancam dengan pidana tapi dijamin UU ditempatkan dilembaga rehab dan di vonis rehabilitasi bila berhubungan dengan penegakan hukum.

Secara hukum penyalah guna itu 100 % dipastikan sebagai pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika bila dimintakan visum/assesmen kepada dokter ahli atau team assesmen (pasal 1/13).

Oleh karena itu visum/keterangan dokter ahli atau team assesmen menjadi sangat sangat penting untuk mengkontruksi penyalah guna yang dijamin rehabilitasi (pasal 4d) menjadi pecandu yang bersifat wajib direhabilitasi berdasarkan pasal 54 UU narkotika.

Baca Juga:  Mahasiswa Tolak Pelantikan 23 Anggota DPRD Purwakarta Petahana

Hal tersebut penting karena penyalah guna itu diancam dengan pidana maksimal 4 tahun dijamin UU untuk direhabilitasi, sedangkan kalau sudah jadi pecandu wajib direhabilitasi.

Kenapa visum / keterangan ahli atau team assesmen penting karena penyidik, penuntut umum dan hakim diberi tugas menjamin penyalah guna direhabilitasi (read; tujuan UU adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu sesuai pasal 4d).

Semangat ini yang belum dimiliki oleh hakim dan penegak hukum lainnya sehingga penyalah guna di tahan dan divonis penjara.

Penyalah guna narkotika berdasarkan UU narkotika ibarat orang berdiri pada dua kaki, satu kaki berada pada dimensi kesehatan, kaki lainnya pada dimensi hukum. Pada dimensi kesehatan, penyalah guna itu orang sakit kronis bersifat nyandu, harus disembuhkan melalui rehabilitasi.

Sedangkan pada dimensi hukum, penyalah guna itu adalah kriminal yang harus dihukum karena melanggar ketentuan perundang undangan yang berlaku. Oleh karena itu terhadap perkara penyalah guna oleh UU narkotika kita memberi solusi dengan mengintegrasikan dua pendekatan tersebut melalui hukuman rehabilitasi.

Hukuman Rehabilitasi Ini Bersifat Wajib

Hukuman rehabilitasi ini maknanya sama dengan hukuman penjara, masa menjalani rehabilitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103/2) hukuman rehabilitasi ini telah memperhitungkan kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatannya.

Kemanfaatan ini lah yang menjadi tujuan penghukuman kenapa penyalah guna, pecandu dan korban penyalah guna wajib dihukum rehabilitasi baik terbukti salah maupun tidak terbukti salah dipengadilan (pasal 103/1)

Eksekusi hukuman rehabilitasi bisa menggunakan model keputusan hakim terhadap perkara Rhido Rhoma, Tessy dan terakhir Tio Pakusadewo. Melalui keputusan hakim terdakwa harus dipaksa untuk direhabilitasi dengan menunjuk rumah sakit ketergantungan obat  atau lembaga rehabilitasi yang ada di republik ini.

Kementerian kesehatan sebagai pengemban fungsi rehabilitasi medis terhadap penyalah guna narkotika sangat mudah merealisasi program rehabilitasi secara serempak untuk menyembuhkan para penyalah guna tersebut karena Indonesia punya ratusan rumah sakit yang tergelar di seluruh indonesia yang dapat disulap untuk membuka layanan rehabilitasi layaknya rumah sakit ketergantungan obat selanjutnya tinggal mengintegrasikan layanan rehabilitasi yang digawangi kemensos dan BNN .

Baca Juga:  Yuk Coba Bersepeda Pakai "Garuda Bike"

Karena praktek penegakan hukum selama ini terhadap penyalah guna tidak ditempatkan di lembaga rehabilitasi melainkan ditahan / dipenjara maka fungsi layanan rehabilitasi dirumah sakit menjadi tidak berkembang, demikian pula fungsi lembaga rehabilitasi yang dimiliki kemensos dan BNN, dampaknya orang tua maupun penyalah guna nya sendiri “takut” berobat untuk mendapatkan hak sembuh karena secara empiris penyalah guna dikejar dan diperlakukan seperti layaknya pengedar padahal mereka adalah seorang sakit ketergantungan narkotika yang seharusnya menurut UU narkotika harus dipaksa dulu oleh keluarga kemudian penegak hukum untuk direhabilitasi sehingga beban negara berkurang.

Maksud dan tujuan undang undang, terhadap orang sakit yang diancam hukuman penjara ini agar di cegah supaya tidak yang ada yang menjadi penyalah guna narkotika, dilindungi supaya tidak menjadi lebih parah kecanduannya, diselamatkan agar tidak mendapatkan dampak buruk serta dijamin untuk mendapatkan layanan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial agar sembuh (read; pasal 4)

Kewenanangan merehabilitasi telah diberikan kepada penegak hukum mulai dari penyidik, penuntut umum sampai hakim pada semua tingkat pemeriksaan (pasal 13 PP 25/2011) artinya paksaan rehabilitasi sudah dapat dilakukan sejak penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Khusus kepada hakim diberikan tambahan kewenangan ektra penting yang selama ini tidak pernah dipakai sebagai sarana melindungi dan menyelamatkan penyalah guna yaitu hakim wajib (pasal 127/2) memperhatikan dan menggunakan pasal 103 apabila amar putusannya merujuk pasal 127 ayat 1 yaitu menyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan terdakwa sebagai penyalah guna untuk diri sendiri maka demi hukum penjatuhan sangsinya berupa rehabilitasi.

Paksaan rehabilitasi bagi penyalah guna tidak hanya oleh penegak hukum khususnya hakim, keluarga pun diwajibkan merehabilitasi keluarganya yang menjadi penyalah guna yang sakitnya sudah kronis ketergantungan narkotika melalui wajib lapor pecandu (pasal 55) kalau tidak orang tua diancam dengan pidana kurungan maksimum 6 bulan.

Baca Juga:  Jadwal SIM Keliling Kota Bandung 14 September 2018

Pada sisi ini penyalah guna harus dipaksa direhabilitasi oleh keluarga, karena itu kejahatan penyalah guna narkotika tergolong  domestic crime.

Karena penyalahguna narkotika tergolong domestic crime maka premium remedium nya lebih pada kewajiban keluarga untuk merehabilitasi dari pada rehabilitasi melalui sangsi rehabilitasi namun implementasinya justru hakim menggunakan ultimum remedium dengan sangsi penjara

Hal ini dapat ditebak karena hakim terbelenggu oleh paradigma sistem peradilan pidana mengesampingkan paradigma yang dibangun UU narkotika yaitu sistem peradilan rehabilitasi.

Akhirnya, untuk apa ada ketentuan tentang tujuan dibuatnya UU no 35 /2009 dalam pasal 4d yang menyatakan secara jelas bahwa “menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu”  kalau para hakim prakteknya menjatuhkan sangsi penjara.

Menyelesaikan masalah narkotika tidak bisa dengan penegakan hukum dengan memenjarakan semua yang terlibat tapi sesuai dengan amanat UU yaitu harus seimbang antara penegakan hukum terhadap pengedar bersifat represif dan penegakan hukum terhadap penyalah guna bersifat rehabilitatif

Pasti ada malpraktek yang menyimpang dari ketentuan perundang undangan yang berlaku, atau interprestasi yang salah kalau penyalah guna untuk diri sendiri akhirnya ditahan dan dipenjara. Lalu apa kita menyalahkan UUnya dengan alasan; UUnya ambigu kek, atau UUnya ngak bener lah , padahal UUnya sangat seksi dan up to date, sudah mengacu pada ketentuan konvensi tunggal narkotika beserta protokol yang mengubahnya. Karena alasan yang tidak jelas lalu UU narkotika yang up to date ini minta diganti, sing bener ae.

Ingat kita sudah berpengalaman 3 kali ganti UU ketiganya belum pernah hakim mengetrapkan vonis hukuman rehabilitasi padahal ketiga UU menyatakan dengan jelas pecandu wajib direhabilitasi.

Waduh salah kaprah kok lama banget, kapan benernya.

#StopNarkoba

#StopVonisPenjara

*) Penulis adalah Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) 2012 – 2015

Jabarnews | Berita Jawa Barat