Nilai Tukar Rupiah Terus Melemah, Menko Perekonomian Bilang Begini

JABARNEWS | JAKARTA – Nilai tukar rupiah yang stagnan di level Rp 14.810 per dolar AS pada Selasa 4 September 2018, dinilai mirip situasi gejala krisis ekonomi 1998. Saat itu, anjloknya nilai rupiah bahkan sampai Rp 16.000-an.

Menyikapi kondisi itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, menegaskan, fundamental ekonomi Indonesia masih kuat.

“Faktor fundamental itu dinilai dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi Indonesia. Menurut Darmin, defisit transaksi berjalan pun masih lebih kecil dibanding 2014 yang mencapai 4,2 persen,” kata Darmin di halaman Istana Negara Jakarta, dikuti pikiran-rakyat.com dari Antara, Rabu (5/9/2018).

Baca Juga:  Polres Purwakarta Razia Tempat Hiburan Malam

Darmin menjelaskan, untuk mengurangi defisit transaksi berjalan, pemerintah terus memperkuat sektor riil seperti industri pariwisata, pertambangan, dan ekspor industri.

Darmin menandaskan, masyarakat jangan membandingkan kenaikan kurs dolar AS yang terjadi pada rupiah hari ini, dengan krisis moneter pada 1998. Dua puluh tahun lalu, dari Rp 2.800 naik Rp 14.000. Sedangkan sekarang dari Rp 13.000 naik menajdi Rp 14.000.

Baca Juga:  Gotong Royong Cegah Banjir

“Kebijakan ekonomi makro yang diimplementasikan oleh pemerintah masih efektif. Kurs dolar terkonsolidasi mendekati tingkat tertinggi dalam satu pekan terhadap sejumlah mata uang negara lain pada perdagangan Senin 3 September 2018,” ujarnya.

Ekonom Samuel Sekuritas, Ahmad Mikail, mengatakan, pergerakan nilai tukar rupiah relatif masih rentan mengalami depresiasi terhadap dolar AS.

Dolar AS, katanya, masih cenderung menguat terhadap hampir semua mata uang dunia.

Baca Juga:  Dinkes Kota Bandung Minta Seluruh Rumah Sakit Wajib Melaporkan Kasus Gagal Ginjal Akut

“Perundingan perdagangan bebas yang buntu antara Amerika Serikat dan Kanada masih mendorong ketidakpastian di pasar. Di tengah situasi itu, investor akan melirik dolar AS sebagai aset ‘safe haven’, sehingga dapat berdampak pada pelemahan rupiah,” katanya.

“Sentimen mengenai data PMI Tiongkok bulan Agustus yang cenderung menurun juga dapat menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Kemungkinan ekspor Indonesia melambat ke Tiongkok akibat perlambatan data itu,” tambahnya. (Des)

Jabarnews | Berita Jawa Barat