Ekonom: B50 Dorong Tingkatkan Ketahanan Energi Nasional

JABARNEWS | BANDUNG – Harga minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) saat ini baik di dalam negeri maupun di pasar dunia tengah mengalami penurunan. Hal tersebut diungkapkan Ekonom Universitas Hassanudin Makassar (Unhas), Syarkawi Rauf yang juga mantan ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI (KPPU).

“Tren yang berkembang di pasar dunia ada dari China, Eropa, misalnya untuk di Eropa tidak memasukkan CPO itu sebagai sumber energi ramah lingkungan, sehingga pada 2030 yang akan datang mereka tidak lagi mengimpor CPO,” kata Syarkawi saat ditemui usai mengisi sebuah acara Kongkow Kaum Muda di Posko Bersama Sahabat Rakyat Indonesia di Bandung, Minggu (3/2/2019).

Sehingga, kata dia, dibutuhkan pasar baru untuk CPO ini. Terlebih, saat ini India juga mulai memberlakukan kebijakan bea cukai tinggi terhadap impor CPO yang masuk ke negaranya, sehingga ini juga menjadi hambatan bagi Indonesia untuk melakukan ekspor sawit atau CPO ke negara tersebut.

Baca Juga:  Kasus Covid-19 Melonjak, Kabupaten Bekasi Putuskan Tambah Dua Hotel Isolasi

Meski demikian, Syarkawi mengatakan, sejak awal pemerintah berkomitmen terkait energi nasional, salah satunya ditempuh dengan mengonversi sumber bahan bakar dari fosil dengan sumber lain yang terbarukan, seperti angin, sinar matahari, termasuk di antara bio diesel yang salah satu sumbernya berasal dari minyak sawit atau CPO.

“Beberapa waktu lalu pemerintah berkeinginan untuk mewujudkan B20, saya kira untuk B20 secara perlahan sudah bisa dicapai tapi ke depan kita ingin dorong agar pemerintah itu tidak hanya di B20 B30 tapi bisa sampai B50,” ujarnya.

Dalam pengertian energi B50, misalkan khusus untuk kendaraan bermotor atau di industri dan lain sebagainya menggunakan 50 persen minyak diesel dan 50 persen minyak sawit atau berasal dari CPO itu yang kemudian yang disebut B50.

Baca Juga:  Ini Upaya Pemkot Bandung Jaga Keberlangsungan UMKM

Dengan demikian tercipta sumber permintaan yang baru, salah satunya dari bio diesel, atau konferensi dari B20 ke B50, ini akan meningkatkan CPO, sehingga secara hukum ekonomi jika permintaannya naik biasanya harga akan naik.

“China ekonominya juga lagi mengalami perlambatan dalam beberapa waktu terakhir dan bahkan diprediksi satu tahun dua tahun ke depan akan tetap akan melambat, sehingga kebutuhan minyak sawitnya juga menurun,” lanjutnya.

Menurutnya dengan B50 ini ke depan akan mendorong peningkatan ketahanan energi nasional, sekaligus mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan bakar minyak yang setiap tahun jumlahnya relatif tinggi, karena produksi minyak Indonesia setiap tahun itu cenderung menurun sementara pemakaiannya cenderung naik.

Baca Juga:  Disnakertrans Jabar: Dari 50 Ribu Perusahaan Baru Sekitar 20 Persen Nol Kecelakaan

“Demand-nya di dalam negeri naik tapi suplainya turun otomatis semakin hari Gap-nya semakin tinggi, ini tidak boleh dibiarkan pemerintah Pak Jokowi punya komitmen untuk mengurangi Gap ini, dengan cara mengurangi impor tadi, caranya gimana mengonversi kebutuhan BBM kita dari fosil ke bio solar atau bio diesel itu,” pungkas Syarkawi.

Hal itu diamini Tim Nasional Sahabat Rakyat Indonesia, Haerudin Nurman, pihaknya mendorong akan upaya energi terbarukan yang diupayakan pemerintah. “Kami terus mendorong dan menyosialisasikan keberhasilan pemerintah, Jokowi yang bisa membawa bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri terutama dalam bidang energi,” tegasnya. (Mil)

Jabarnews | Berita Jawa Barat