Domyak, Kesenian Asli Purwakarta Yang Hampir Terlupakan

JABARNEWS | PURWAKARTA – Di bawah kaki Gunung Burangrang, salah satu sudut wilayah Kabupaten Purwakarta tepatnya di Desa Pasirangin Kecamatan Darangdan ada Seni tradisional yang unik yang merupakan salah satu warisan budaya leluhur yakni kesenian Domyak.

Domyak sebuah kesenian tradisional berkembang dan sebagai sebuah ritual khusus (ritus). Konon, kesenian Domyak dilakukan masyarakat setempat sebagai sarana ritual meminta turun hujan disaat musim kemarau.

“Sebelumnya nama kesenian tersebut bukanlah Domyak namun kesenian ini bernama Buncis dan di tahun 1980 an hingga kini masyarakat menyebutnya Domyak” Kata Yosi Agustiawan (40) salah satu penggiat dan pemerhati kesenian Domyak di Pasirangin. Selasa, (16/7/2019)

Yosi menambahkan, kesenian Domyak bermula dari sebuah kesenian buncis pimpinan Mama Nuria dan Abah Jumanta pada tahun 1980 an di Pasirangin.

“Domyak adalah akronim atau kirata basa, artinya Ari dur, ari rampayak. Dur adalah bunyi bedug dari salah satu waditra musik pengiring kesenian ini. Rampayak artinya menari. Jadi, ketika ada suara dur dari bedug itu (pemain) langsung menari. Demikian, arti domyak menurut Alm Abah Jumanta salah seorang sesepuh kesenian Domyak yang meninggal sekitar tiga tahun lalu di usianya yang ke 128 itu,” jelas Yosi.

Baca Juga:  Soal Pelajar Tabrak Emak-emak Hingga Tewas, Ini Tanggapan Ketua MKKS Purwakarta

Seni Domyak, tambah dia, terkait dengan ritus meminta hujan (Mapag banyu). Inti ritus ini adalah ngibakan ucing (memandikan kucing) yang terlebih dahulu dimulai dengan arak-arakan keliling kampung.

“Kucing dimasukkan ke dalam kurungan yang disebut dongdang ucing dan tandu oleh dua orang. Arak-arakan diiringi dengan tetabuhan seperti angklung, dogdog, bedug, kendang, goong, dan sebagainya. Mereka kemudian menuju ke suatu mata air dan kemudian melaksanaka ritual Ngibakan Ucing tadi” imbuhnya.

Ritual dimulai dengan mupuhun, lanjut Yosi, yang dipimpin oleh seorang pemimpin upacara yang disebut Pangasuh (pengasuh). Mupuhun adalah semacam uluk salam, atau dalam peribahasa Sunda diartikan sebagai mipit kudu amit, menta kudu bebeja, ngala kudu menta (meminta izin terlebih dahulu), yang bermakna bahwa jika sesuatu yang akan dilakukan itu haruslah diawali dengan meminta izin dan memohon berkah keselamatan dari Yang Maha Kuasa.

Setelah mupuhun dilaksanakan, pangasuh menyuruh seseorang untuk melantunkan kidung beberapa bait, dan setelah selesai kidung, maka kucing yang ada di dalam sebuah kurungan itu diguyur air, yang disebut dengan ngibakan ucing (memandikan kucing).

Baca Juga:  BMKG: Waspada Hujan Lebat Disertai Kilat dan Angin Kencang di Jawa Barat Pada Sore hingga Malam Hari

“Memandikan kucing mempunyai makna, bahwa kucing tidak pernah mandi dan hal ini adalah sebuah ajaran, bahwa manusialah yang sebaiknya mandi, membersihkan diri” tutur Yosi yang kesehariaan sebagai Guru tidak tetap (GTT) di SMPN 4 Darangdan tersebut.

Namun, kata Yosi, seperti tradisi meminta hujan yang menjadi cikal bakalnya, keberadaan seni domyak pun belakangan mulai jarang sekali ditampilkan, terlebih sepeninggal Abah Jumanta.

“Di Pasir Angin hanya sedikit yang paham dan masih bisa memainkan kesenian yang melibatkan sembilan pemain plus satu orang sinden yang melantunkan kawih-kawih Sunda. Kalaupun ada, saat ini pemain kesenian Domyak di dominasi kalangan orang tua atau usia lanjut,” paparnya.

Selain tekun mempelajari seni domyak, Yossi pun aktif menularkan pengetahuannya tentang seni ini pada orang lain termasuk pada usia dini di sekolah tempat dirinya mengajar.

“Saya membuka ekstra kurikuler kesenian domyak, sudah diikuti banyak siswa. Tujuannya supaya kesenian tradisional yang lahir dari peradaban panjang masyarakat Desa Pasir Angin tetap terjaga,” ujar Yossi.

Menurut Yosi, Saat ini seniman domyak terdiri dari seniman yang dominan ber usia lanjut. Untuk latihan pun seniman domyak berpindah pindah karena tidak memiliki tempat berlatih.

Baca Juga:  Adi Setiawan Salah Satu Calon Terkuat Dalam Pemilihan Ketua IPNU Jabar

Padahal Seni domyak termasuk 37 seni tradisi di Jabar yang di revitalisasi dan regenerasi tahun 2012 oleh Disparbud Jabar dan Dinas kebudayaan Purwakarta.

“Tapi saat ini nasib seni Domyak seperti mati suri. Mati tidak hidup pun segan. Makanya itu perlu perhatian khusus dari semua pihak untuk tetap menjaganya kelestarianya. Karena selain sebagai salah satu kesenian tradisional, Domyak menjadi khazanah warisan budaya leluhur khususnya di masyarakat setempat.” Katanya.

Yosi berharap, seni domyak menjadi salah satu seni kebanggan masyarakat Purwakarta dan mendapat dukungan penuh dari pemerintah termasuk mengikutsertakan kesenian Domyak di acara resmi pemerintah seperti HUT Kab Purwakarta yang tak lama lagi di gelar.

“Jangan sampai hari HUT Purwakarta kita masyarakat Purwakarta hanya sebagai penonton saja. Pernah saya keluar masuk Pemda, mengajukan proposal untuk permohonan tempat dan peralatan tapi tidak ada realisasinya sampai sekarang. Sampai akhirnya saya menggadaikan pohon cengkeh dan menyisihkan uang honor mengajar di sekolah untuk untuk membeli peralatan dan mendukung domyak tersebut,” pungkas Yosi. (Gin)

Jabar News | Berita Jawa Barat