Budaya Literasi di Rumah

JABARNEWS | BANDUNG – Gaung membaca sebetulnya tak harus digelorakan di lingkup lembaga formal yang bernama sekolah. Setidaknya, zaman dahulu para kiayi dan ulama besar, termasuk Rasulullah SAW juga menginstruksikan agar umatnya “membaca”. Tertera jelas dalam Al-Quran, termaktub dalam surat Al-Alaq dengan ayat yang berbunyi “Iqro !”, dengan terjemahan Indonesia yang berarti bacalah!

Gerakan literasi adalah tanggung jawab masyarakat yang sudah mengenal huruf. Untuk meningkatkan budaya minat baca juga tidak perlu tergantung pada tempat yang bernama sekolah. Gerakan 15 menit membaca sebetulnya juga sangat mengasyikan jika diterapkan di rumah, sebelum atau setelah belajar di sekolah. Bahkan, waktunya tidak terbatas, bisa sebelum tidur.

Dulu, pernah ada serial bagus, dalam salah satu stasiun tv kabel berlogo WB dan Fox. Setiap episodenya yang menampilkan semi detektif di kantor CBI – California Bureau of Investigation (yang kemudian berlanjut ke FBI karena CBI ditutup), dengan konsultan pembantu dan sering mengungkap kasus-kasus pembunuhan. Tokoh yang sering disebut sebagai cenayang yang bernama Patrick Jane ini suka membaca buku sambil tiduran maupun duduk. Yang menarik dari tokoh Patrick Jane ini, selain pengamatan dan deduksi yang mantap seperti Sherlock Holmes, maupun Detektif Conan, Patrick punya ciri khas yang unik yakni suka tidur di sebuah kursi sofa. Yang paling mengesankan, meski film serial ini dibuat dengan kecanggihan teknologi masa kini, Patrick yang nyentrik masih suka membaca buku utuh dalam bentuk cetak, meskipun tengah menangani kasus rumit yang perlu dipecahkan.

Pesan dari sikapnya yang cuek dan seolah tak mau kalah, dia seolah olah ingin mengatakan bahwa membaca bisa dimana saja. Bahwa membaca bisa dilakukan sambil tiduran sekalipun, asalkan dengan penerangan yang memadai. Artinya, di sini, meski saya pribadi penyuka film, film ini ada nilai lebihnya, yakni berbobot dalam hal substansi dan dialog. Setidaknya kaum barat sana, yang selalu menampilkan kecanggihan teknologi, seolah-olah tidak mau meninggalkan kesan jadul. Mereka ingin tetap mau menonjolkan nilai-nilai klasik yang bermutu. Seolah-olah mereka ingin menampilkan buku cetak itu tetap masih bisa dinikmati dengan asyiknya. Naskah buku masih enak untuk dibaca dan secara tidak langsung, Patrick Jane adalah duta baca untuk serial film tersebut.

Baca Juga:  Tak Beri Ampun, Wagub Jabar Bakal Datangi Perusahaan yang Belum Lunasi THR

Apakah sudut baca, saung baca atau pojok baca/perpustakaan selalu penuh dengan pembaca? Saya ragu untuk mengungkapnya. Bila berkunjung ke perpustakaan, biasanya wajah yang sama si peminjam buku adalah pemandangan yang lazim. Wajah pembaca buku hanya yang itu-itu saja. Artinya sudah tidak aneh, perpustakaan itu mirip taman makam bahagia (tempat pemakaman), tetapi di sana banyak ilmu dan pengetahuan. Bahwa data berdasarkan UNESCO persentase minat baca di Indonesia hanya 0,01 persen mungkin ya, dan realitasnya memang demikianlah adanya. Masyarakat kita masih belum mengalami peningkatan budaya baca yang melonjak.

Tetapi, meski di sekolah ada gerakan literasi, saya sebagai orangtua yang sering membiasakan diri membaca buku, pasti mengenalkan buku kepada anak-anak yang ada di rumah. Dan pasti akan menularkan kepada anak-anak saya, atau minimal dengan melayahkan (sengaja menyimpan buku di sembarang tempat dan bercampur aduk bersama mainan) buku-buku di lantai, hal itu juga merupakan tugas orangtua di luar sekolah untuk mengenalkan buku. Tujuannya yakni ingin menggiatkan kecintaan literasi sejak dini.Minimal anak saya mengenal buku sejak masih belia.

Jika dipaksakan membaca juga belum waktunya. Jika tak salah, usia anak 2 sampai 5 tahun hanya pengenalan simbol dan mereka harus diusahakan lebih banyak bermain dengan simbol-simbol visual yang positif. Maka dengan bertahap saya kenalkan buku kepada anak saya, disamping saya bacakan buku untuk melatih daya listening. Apakah anak saya hanya sekedar membawa dan menyobek kertasnya, minimal saya gembira bahwa anak saya tidak hanya memegang mainan mobil-mobilan. Buku cetak bukan alat gadget, jadi ketika anak saya melemparnya secara sembarangan, karya cetak tersebut tidak akan hancur. Dia kuat dan hanya lecet sedikit di sampulnya.

Baca Juga:  DPRD Berikan Rekomendasi Tingkatkan PAD Untuk Pemprov Jabar

Kalau hanya sebatas tugas sekolah, atau menumbuhkan gerakan literasi di sekolah, sepertinya gaungnya hanya lingkup di sekolah saja. Terkadang saya perhatikan, pelajar usia SLTP dan SLTA kini lebih sering main ponsel canggih dengan game beragam. Kemajuan zaman tak bisa dicegah, budaya mulai sedikit berubah. Begitupun dengan gaya hidup berkecenderungan menggenggam gadget. Oleh karenaya perlu ditegaskan kembali, bahwa membaca tak perlu kenal dengan tempat, tak perlu kenal dengan situasi. Jika dirasa waktu yang tepat untuk membaca, bacalah buku. Jika tak ada buku, bacalah situasi. Jika ada gadget dalam genggaman bukalah informasi. Jutaan pengetahuan terkini sudah ada dalam genggaman tangan saat ini. Jika ada koran atau majalah silakan dibaca, sebab banyak info menggelitik di sana.

Dulu, sebelum ada kertas, orang-orang yang sudah berbudaya baca dan mengenal teks, mau menuliskan sesuatu itu menggunakan bahan bahan sedanya yang bisa ditulisi. Mau membaca buku saja, zaman dulu mereka rela membaca teks dengan penerangan api kecil seperti lilin. Berkaca pada zaman sekarang, sekali lagi tokoh Patrick Jane dalam serial The Mentalist menginspirasi saya (kebetulan saya penggemar karena dibandingkan dengan sinetron kita, alur ceritanya lebih menarik dan dialognya lebih berisi). Serta, Patrick Jane ini di sela-sela waktu senggangnya, tekadang suka sekali membaca buku. Tidak peduli atasannya kesal ataupun marah melihat kelakuannya yang bisa santai baca buku di tengah kasus rumit, tampaknya Patrick selalu tidak peduli, dia tetap membaca di kursi sofa empuknya. Namun, ujung-ujungnya atasannya terkagum-kagum juga, sebab berbagai kasus rumit pembunuhan selalu terpecahkan olehnya.

Baca Juga:  Tragis! Bocah 6 Tahun di Bekasi Tewas Diduga Terjebak Dalam Mobil

Lain cerita dengan duta baca Indonesia 2016, Najwa Shihab. Sejak kecil Najwa telah dikerumuni buku-buku, terkadang bahkan sering orangtuanya membacakan dongeng sebelum tidur. Presenter Mata Najwa di Trans 7 ini hingga sekarang masih suka membaca 15 halaman buku setiap harinya.

Lantas apakah kita masih berupaya untuk menggiatkan literasi di tingkat sekolah? Jawabannya adalah ya. Itu sebuah keharusan. Tetapi, apakah masyarakat di luar sekolah tak punya kewajiban untuk menumbuhkan budaya baca? Jawabannya tentu masyarakatpun berkewajiban. Tukang becak sekalipun ada yang suka baca buku. Sementara anak kuliahan yang berkutat dengan buku-buku, juga banyak yang tidak suka baca buku. Nah, dalam hal ini, tampaknya masyarakat di luar sekolah pun tidak boleh diacuhkan. Mereka, tanpa pernah diketahui, mungkin sedang merancang untuk bagaimana meningkatkan budaya baca. Mereka terseok-seok, tapi tetap melangkah, tanpa pamrih malah. Tapi seringkali kurang dilirik, hanya karena tidak atau belum melembaga, hanya karena bukan atas nama lembaga pendidikan.

Dengan hadirnya tulisan ini, penulis hanya ingin menegaskan, bahwa untuk gerakan literasi tidak mesti hanya di lembaga formal sekolah. Lembaga pendidikan yang bernama sekolah hanyalah salah satu bagian yang paling banyak disebut. Bagian yang lain ada di masyarakat. Unit lainnya mungkin ada di komunitas-komunitas. Sub bagian lainnya mungkin saja ada di kelompok-kelompok tertentu yang entah bernama apa.

Yang jelas dengan hadirnya tulisan ini. Siapapun, tanpa memandang tempat, tanpa memandang profesi atau status, tanpa memandang warna, ras, ataupun agama. Mari tumbuhkan budaya membaca dimanapun dan kapanpun. (Red)

Penulis Herik Diana adalah penyuka buku cerita/novel, penyuka film fiksi ilmiah dan pengelola salah satu rumah baca di wilayah Kab.Majalengka.

Jabar News | Berita Jawa Barat