Revisi UU KPK Harus Akomodir Mekanisme SP3

JABARNEWS | JAKARTA – Praktisi Hukum, Servasius Serbaya Manek mengatakan tingkat urgensi revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengakomodir mekanisme Surat Penghentian Penyidikan (SP3).

Pasalnya, kecenderungan KPK selama ini menyalagunakan wewenang (abuse of power) dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut terjadi karena lembaga antirasuah itu tidak memiliki kewenangan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Baca Juga:  Carita Rayat Banten: Sasakala Selat Sunda

Hal tersebut diutarakan Servasius dalam diskusi publik bersama pihak yang tergabung dalam Forum Lintas Hukum (FLH) yang terdiri dari mantan Jaksa, mantan Polisi, mantan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Praktisi Hukum terkait revisi Undang-Undang (UU) No. 30 tahun 2002 tentang KPK, di Restoran Ayam Bulungan, Jakarta Selatan, Kamis (12/9/2019).

Baca Juga:  AMSI: 10 Pemimpin Media Digital Terpilih Ikuti Program Pengembangan Kapasitas

“Tingkat urgensi saat ini, revisi UU ini harus mengakomodir pasal perubahan tentang adanya mekanisme SP3 sebagaimana diatur KUHAP,” kata Servasius.

Servasius pun yakin dengan adanya kewenangan SP3, bisa menjawab kepastian hukum, efeknya bukan hanya kepada negara tetapi juga kepada masyarakat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

“Ternyata dia tidak bersalah, ya dihentikan. Jangan dipaksakan,” tegasnya.

Baca Juga:  Makanan Ini Cocok bagi Para Penderita Panas Dalam dan Sakit Tenggorokan

Servasius pun mencontohkan “dosa” KPK yang telah menetapkan mantan Direktur Utama Pelindo II, RJ Lino. Pasalnya kasus tersebut masih menggantung sejak 2015 hingga saat ini belum diproses.

“Contoh salah satu mantan Direktur BUMN besar sampai hari ini masih tersangka. RJ Lino. Itu sudah melanggar hak orang. Hak sosialnya, hak ekonominya, semua hak dilanggar Undang-Undang itu,” ucapnya. (Odo)