Studi Purwakarta: KPK Jelaskan Potensi Kebocoran Pendapatan Daerah

JABARNEWS | PURWAKARTA – Menanggapi pemberitaan soal transparansi dan dugaan kebocoran pendapatan asli daerah Kabupaten Purwakarta beberapa waktu lalu, Studi Purwakarta ungkap penjelasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait itu.

KPK menemukan beberapa potensi kebocoran pendapatan asli daerah (PAD) yang belum maksimal masuk ke kas daerah. Antara lain, pendapatan yang masih jauh dari hasil yang maksimal saat penyetoran ke kas Pemerintah Daerah (Pemda).

“Hal itu terjadi biasanya saat penyetoran pajak atau retribusi secara tunai. Dan juga dugaan adanya permainan jumlah yang disetorkan antara wajib pajak dengan petugas uji petik atau penagih pajak,” ungkap Hikmat Ibnu Aril, Ketua Studi Purwakarta, (23/9/2019) saat menjelaskan temuan KPK di Bapenda Kabupaten Polewari Mandar awal bulan September ini.

Baca Juga:  Fenomena Wartawan Bodrex: Wagub Jabar Minta PWI Tertibkan, Hingga Bikin Resah Bupati Bogor

Aril melanjutkan bahwa menurut KPK dalam paparannya di kabupaten tersebut, terdapat juga modus lainnya yang menyebabkan tidak maksimalnya jumlah pendapatan.

Bapenda biasanya memasang target pendapatan asli daerah lebih rendah dari perhitungan perolehan potensi pajak dan retribusi.

Untuk diketahui, untuk kasus Bapenda Polewari Mandar (Polman) ini, KPK melayangkan rekomendasi kepada Bupati untuk mengganti semua perangkat Badan Pendapatan Daerah (Bapeda) karna dinilai banyak terjadi kebocoran pajak setiap bulannya.

Baca Juga:  Agar Bisa Hidup Tanpa Hutang Dengan Gaji Pas-pasan, Lakukan Tips Ini

Potensi Kebocoran di Bapenda Purwakarta

Ketua Studi Purwakarta, Hikmat Ibnu Aril, menyebutkan pendapatan yang rentan terjadi dugaan kebocoran di Purwakarta hampir sama dengan Bapenda Polman. Sehingga tidak maksimalnya perolehan pendapatan asli daerah (PAD).

Ia menjelaskan ada beberapa kategori pajak yang rentan kebocoran besar. Pertama, kategori pajak tambang. Dugaan Kerentanan terjadi saat pengusaha tambang melaporkan hasil produksi yang tidak sesuai fakta penjualan sebenarnya.

Hal itu terjadi karena keterbatasan petugas dari penagih pajak yang tidak standby di lokasi tambang, yang bisa mencatat transaksi penjualan hasil tambang setiap harinya.

Baca Juga:  Pulang Dari Luar Negeri, Seorang Warga Garut Dicurigai Terpapar Virus B117

“Kedua, kategori pajak restoran. Polanya mirip dengan pajak tambang tadi. Nilai maksimal perolehan atas penjualan produk restoran tidak sesuai dengan yang dilaporkan,” ungkap Aril kepada Jabarnews.com, Senin (23/9/2019).

Dan yang terakhir adalah kategori pendapatan yang berasal dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Apalagi kini dengan diterapkannya Zona Nilai Tanah (ZNT) dari pemerintah pusat.

“Bapenda Purwakarta belum menggunakan e-BPHTB. Sehingga ada potensi kebocoran dalam kategori pendapatan ini. Sedangkan di beberapa kota atau kabupaten lain telah menerapkan ini untuk memastikan transparansi dan meminimalisir kebocoran,” jelasnya. (Red)