Implementasi Moratorium Sawit Dinilai Jauh Panggang dari Api

JABARNEWS | JAKARTA – Aliansi masyarakat sipil peduli lingkungan terdiri dari Sawit Watch, ELSAM, ICEL, Madani, Kaoem Telapak, SPKS, Greenpeace Indonesia, FWI, Kemitraan, JKLPK dan JPIK merilis laporan tahunannya terkait implementasi Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit.

Dalam catatan mereka, perjalanan Inpres yang dikeluarkan September 2018 lalu, atau tepat satu tahun Sepetember ini disebut implementasinya jauh panggang dari api.

Dijelaskannya bahwa kerja-kerja implementasi Inpres dalam satu tahun masih bersifat persiapan baik berupa konsolidasi dan finalisasi data tutupan sawit antara kementerian dan lembaga terkait kemudian koordinasi.

Sehingga hal ini tidak ada capaian yang signifikan. Belum lagi soal kasus-kasus tumpang tindih yang menjadi perhatian publik diselesaikan lewat Inpres ini.

“Dari 25 Provinsi dan 247 Kabupaten/Kota yang mempunyai perkebunan sawit, mayoritas belum memberikan respon terhadap Inpres ini (19 Provinsi, dan 239 Kabupaten/Kota), seperti kondisi implementasi 6 bulan pertama pada Mei 2019,” beber Hadi Saputra dari Sawit Watch di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (26/9/2019).

Baca Juga:  Cek di Sini! Berikut Link Pengumuman Hasil Seleksi SBMPTN 2021

Lanjutnya, strategi implementasi Inpres Moratorium dilakukan oleh Kemenko Perekonomian dengan menetapkan tujuh provinsi prioritas moratorium sawit, yaitu Provinsi Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur yang didasarkan pada luas perkebunan sawit yang ada.

“Sayangnya, Provinsi Papua dan Papua Barat, dan beberapa provinsi lain, dengan tutupan hutan terbanyak di wilayah perkebunan sawit, tidak masuk ke dalam daftar provinsi prioritas ini padahal potensi hutan alam yang dapat diselamatkan sangat luas,” ungkapnya.

Berikutnya adalah beberapa Pemerintah Kabupaten/Walikota dan Provinsi yang mempunyai komitmen kuat untuk mengimplementasikan Inpres Moratorium. Hal yang menjadi kendala adalah belum adanya kebijakan semacam juklak dan juknis ataupun road map dalam implementasi moratorium tersebut.

Baca Juga:  Besok Kasus Hoaks Ratna Sarumpaet Diperiksa Bawaslu

Hal lainnya tambah Hady yang menjadi kendala adalah belum adanya anggaran daerah ataupun bantuan pusat yang dapat digunakan mengimplementasikan inpres tersebut.

Poin lainnya produktivitas petani sawit masih sangat rendah yakni 12 ton/ha/tahun dari target 36 ton/ha/tahun. Salah satu program yang diidentifikasi sebagai salah satu dalam peningkatan produktivitas saat ini adalah program PSR (program peremajaan sawit rakyat) dengan pemaanfaatan dana BPDP-KS dimana sampai dengan pertengahan tahun 2019 ini, realisasi program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) di bawah 10% dari target sekitar 200 ribu hektar.

“Hasil monitoring Aliansi Masyarakat Sipil, Kementerian Pertanian belum berkontribusi signifikan, karena Tim Kerja moratorium sawit belum ada informasi resmi berkenaan dengan hasil verifikasi dan evaluasi terhadap Izin Usaha Perkebunan (IUP), Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan, dan fasilitasi pembangunan kebun rakyat paling kurang 20 % oleh pemilik IUP dari daerah,” tegasnya.

Bahkan sampai saat ini, Kementerian Pertanian sedang menyusun Rencana Aksi Nasional Perkebunan Berkelanjutan yang didalamnya diklaim sebagai langkah-langkah dalam meningkatkan produktivitas perkebunan sawit.

Baca Juga:  Polres Cianjur Tangkap 10 Orang Terkait Kasus Narkoba Jenis Sabu

Senada Direktur Madani Berkelanjutan M Teguh Surya mengatakan pada September 2019 tepat satu tahun Inpres Nomor 8 tahun 2018. Namun data perusahaan yang ditunda izinnya oleh KLHK tidak pernah dipublikasikan kepada publik.

“Persoalannya mulai masalah klasik berupa ego sektoral antar lembaga negara serta jargon kerja kerja kerja yang disampaikan Presiden sebenarnya untuk siapa. Seharusnya kan kerja untuk Indonesia,” kata Teguh.

Menurutnya Inpres nomor 8 Tahun 2018 tidak hanya penting tetapi juga mendesak, dimana target Pemerintahan Joko Widodo persoalan sawit selesai dalam tiga tahun.

“Persoalan sawit itu menguntungkan tapi juga merugikan. Pemerintah sendiri abai bahwa perusahaan perusahaan yang tiga tahun membakar lahan hutan untuk sawit kemudian Agustus 2019 juga kembali melakukan pembakaran hutan,” tandasnya. (Kis)