Ansy Lema: Perppu KPK Tak Perlu Diterbitkan

JABARNEWS | JAKARTA – Anggota DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Yohanis Fransiskus Lema, S.IP, M.Si atau Ansy Lema menilai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK).

Menurut Ansy, Perppu KPK adalah hak subjektif Presiden dan sifatnya sementara saja. Berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa sebaiknya mengajukan gugatan atas UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar keputusannya mengikat dan permanen. Mantan aktivis 1998 itu mengatakan, tidak ada kondisi “kegentingan” yang memaksa Presiden menerbitkan Perppu KPK.

“Tidak pula ada kekosongan hukum yang mengharuskan perlu diterbitkan Perppu,” kata Ansy melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (5/10/2019).

Ia menilai demonstrasi mahasiswa bukan kondisi kegentingan memaksa. Suara mereka didengar, direspons secara baik oleh Presiden dan DPR. Presiden dan DPR tidak menutup telinga, justru mendengar suara-suara di ruang publik. Respons itu sudah dibuktikan melalui penundaan pengesahan RUU KHUP, RUU Minerba, RUU PKS dan RUU Pertanahan. Empat dari lima tuntutan mahasiswa dipenuhi Presiden. Bahkan Presiden mengundang mahasiswa untuk berdiskusi, namun ditolak mahasiswa.

“Itu menunjukan bahwa Presiden dan DPR terbuka terhadap koreksi dan sadar bahwa proses pengambilan keputusan politik bisa keliru. Ini yang oleh filsuf Karl Popper disebut konsep falsifikasi dalam proses pengambilan kebijakan,” ujarnya.

Wakil rakyat asal NTT itu mengatakan, Presiden dan DPR sudah mengakui ada prinsip falsifikasi (bisa salah) dalam demokrasi. Artinya, keputusan politik bisa salah, maka perlu dikoreksi dan revisi.

Baca Juga:  Prakiraan Cuaca Bandung Raya Rabu 21 Desember 2022, Berikut Informasi Selengkapnya

Pengakuan akan kesalahan itu membuka ruang bagi koreksi agar produk legislasi menjadi semakin berkualitas dan mampu menjadi engsel bagi kehidupan bernegara. Itulah proses dialektika dalam demokrasi kita dewasa ini.

Ini bukti kualitas demokrasi kita makin maju karena institusi politik selalu terbuka untuk dikritik dan dikoreksi. Presiden Joko Widodo tidak anti kritik.

“Terkait ini pemikir Jurgen Habermas menekankan pentingnya proses penalaran dialektis dalam pengambilan keputusan publik”, jelas Ansy.

Ansy mengatakan, tentu saja korupsi adalah musuh bersama yang harus dilawan, sebagaimana disuarakan mahasiswa. Karena itu, ia misalnya secara pribadi berkomitmen untuk hanya akan menerima uang yang ada potongan pajaknya dan tidak menerima gratifikasi.

Pejabat publik juga tidak boleh terjebak pada konflik kepentingan (conflictnof interest). Akar korupsi adalah karena pejabat tidak bebas dari konflik kepentingan.

“Pejabat publik jatuh karena orang dekat (suami, istri, anak, ponakan, kakak, adik saudara dan tim pemenangan) yang minta proyek. Maka saya akan tegas terlebih dahulu terhadap orang dekat saya. Jangan ada yang manfaatkan kekuasaan untuk main proyek, untuk perkaya diri,” tegasnya.

Namun, kata dia, lembaga hukum seperti KPK harus siap untuk dikoreksi dan direvisi. Lembaga yang tidak mau diawasi dan dikoreksi justru mengangkangi semangat demokrasi. Maka, pengawasan terhadap KPK penting dalam sistem demokrasi. KPK memiliki wewenang penyadapan dan penangkapan. Maka, untuk mencegah terjadinya abuse of power, keberadaan lembaga pengawas menjadi sangat penting. Lembaga pengawas harus dipikirkan seperti apa modelnya. Aneh jika dalam sistem demokrasi, masih ada lembaga publik yang imun terhadap pengawasan.

Baca Juga:  Listrik Padam Pasca Bencana, Bupati Bogor Serahkan Bantuan Genset

“Lantas seperti apa modelnya? Model lembaga pengawasan KPK tentu haruslah rasional. Tanpa pengawasan rentan terjadinya abuse of power. Lord Acton sudah mengingatkan power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Rasional dalam arti, pemerintah dan DPR wajib mendengar masukan dari berbagai kalangan dalam membuat format lembaga pengawasan yang membuat KPK menjadi semakin kuat dan tangguh mengahadapi kasus-kasus korupsi,” tambah Juru Bicara Ahok di Pilgub DKI Jakarta itu.

Namun, diskursus terus menerus tentu harus ada ujungnya. Menurut Habermas, harus ada konsensus minimal dalam arti, tentu tidak semua aspirasi masyarakat diakamodir mengingat aspirasi yang muncul bersifat plural atau majemuk. Maka, harus ada pembatasan yang jelas untuk mencapai konsensus.

Diskursus yang paling rasional yang akan diambil sebagai bahan dan preferensi untuk merancang UU tersebut. Untuk itu, keputusan Presiden penting. Presiden harus mengambil keputusan karena keputusan Presiden akan mengakiri semua polemik yang muncul dari ruang publik.

Ansy mengatakan, tidak semua keputusan politik Presiden bisa memuaskan semua pihak. Pasti ada yang tidak puas. Jika ada yang tak puas dengan keputusan Presiden terkait UU KPK, bisa ditempuh melalui mekanisme konstitusional, yakni mengajukan gugatan ke MK.

Baca Juga:  Banom NU Dorong Kader Maju di Pilkada Purwakarta 2018

Keputusan MK lebih pasti dan mengikat. Perppu bersifat sementara, dan ketika hendak dijadikan UU, Presiden mesti meminta persetujuan DPR. Judicial Review ke MK adalah saluran konstitusional yang disediakan dalam sistem demokrasi.

Sebagai mantan aktivis 1998, Ansy juga mengapresiasi gerakan mahasiswa berbagai kampus turun ke jalan. Mahasiswa sebagai agent of change atau dalam ilmu politik sebagai kelompok penekan bertugas mengubah kultur politik menjadi lebih responsif dan demokratis.

Gerakan demonstrasi seperti itu tidaklah tabu dalam sistem demokrasi. Demokrasi membuka ruang selebar-lebarnya bagi diskursus publik baik melalui pertukaran wacana maupun melalui gerakan sosial yang semua tujuannya membuat kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik.

Bagi dirinya pemerintah sekarang sangatlah demokratis karena mau mendengar suara mahasiswa, berbagai elemen masyarakat dan menjadikan suara-suara dalam ruang publik sebagai preferensi dalam pengambilan keputusan politik.

Jelas sangat berbeda dengan jaman Orde Baru, di mana kebebasan sipil dan politik dibungkam. Suara masyarakat sipil tidak pernah didengar, semua kanal demokrasi disumbat. Kekuasaan sepenuhnya tersentralisasi di tangan Presiden sebagai pengambil keputusan tunggal dan rakyat tinggal menjalankan kebijakan yang diputuskan Presiden.

“Itu mengapa, mahasiswa 98 turun ke jalan menuntut Presiden Soeharto turun. Kondisi monolitik pada era Orde Baru jelas berbeda dengan sistem demokrasi saat ini. Kini semua saluran demokrasi terbuka. Pers, mahasiswa dan masyarakat sipil bebas bersuara. 4 dari 5 tuntutan mahasiswa sudah dipenuhi Presiden dan DPR,” pungkasnya. (Odo)