Menag Dinilai Salah Kaprah Terkait Kata Radikalisme

JABARNEWS | KUNINGAN – Akhir-akhir ini kata radikalisme sedang hangat-hangatnya menjadi perbincangan dan bahasan. Bukan saja di tingkat elit politik, akademisi, tokoh dan pemuka agama bahkan perbincangan radikalisme sampai ditataran masyarakat desa yang kesehariannya cuma mampu memandangi sawah dan ladangnya yang kering kerontang akibat kemarau panjang.

“Kata radikalisme yang sekarang sedang ngetrend, sudah mengalami penyimpangan arti, bahkan cenderung salah kaprah dalam penggunaannya,” kata Yahya Wahyudin (50) Pemerhati Pendidikan kepada Jabarnews.com, Sabtu (9/11/2019).

Baca Juga:  Gus Menteri Bakal Reformasi Manajemen Data Hingga Potensi Desa, Ini Tujuannya

Pernyataan Mentri Agama dinilai Yahya sudah salah kaprah. Sepengetahuan dirinya radikadilme adalah aktifitas berfikir secara mendasar atau mengakar, sesuai dengan asal kata radix sama dengan akar atau sesuatu yang ada di kedalaman.

“Kalau dihubungkan dengan sikap seorang muslim dalam mengamalkan syari’at, ya mesti mendasar atau bersumber dari aturan yang otentik,” ujarnya.

Baca Juga:  Kabar Baik Soal BPNT Untuk 17 Juta KPM, Ini Kata Kemensos

Yahya menjelaskan, seorang Muslim tidak boleh mengamalkan syari’at semau saja, atau disesuaikan dengan selera zaman, atau mengikuti kemauan pihak yang memonopoli pemahaman ideologi negara.

Undang-undang menjamin semua warga untuk mengamalkan ajaran sesuai keyakinan agama nya masing-masing.

Bila interaksi sesama manusia ingin dibangun untuk melahirkan kesepahaman antar manusia maka setiap manusia harus berfikir radikal, dan mendalam.

Baca Juga:  Warga Subang Perhatian! Disini Lokasi SIM Keliling Senin 10 April 2023

“Menteri Agama harus berupaya keras membuat formula bahasa atau istilah yang proporsional dalam membangun kesepahaman, terkait istilah-istilah sensitif yang sering dipakai dalam membangun kerukunan internal umat dan antar umat beragama. Semisal istilah terorisme, radikalisme, toleransi, moderat, jihad, khilafah, liberalisme ukhuwah dan lain-lain yang selama ini pemahamannya dimonopoli oleh pihak otoritas”, jelas Yahya. (Din)