Sokola Institut: Orang Rimba Melawan Setan Bermata Runcing

JABARNEWS | BANDUNG – Terinspirasi dari pengalaman yang kerap menjadi permasalahan masyarakat adat. Orang rimba menganggap orang luar yang pandai membaca dan menulis menggunakan bacaan hukum dan peraturan untuk mencaplok hutan mereka.

Dengan mengembangkan berbagai program pendidikan sebagai usaha membantu masyarakat adat setempat dalam menghadapi berbagai persoalan dengan tetap mempertahankan adat istiadat.

Menjadi seseorang yang berpendidikan tinggi dan memiliki kekayaan finansial yang melimpah adalah tujuan bagi rata-rata setiap orang yang hidup di zaman modern, meski tujuan itu belum tentu benar bagi Sokola Institut yang didirikan sejak 2003.

Pendiri Sokola Rimba (Sokola Institut), Butet Manurung mengatakan, melalui buku “Melawan Setan Bermata Runcing”  ia mau menunjukkan bahwa para relawan pendidik masyarakat adat harus memahami metode mengajar yang baik dan mengerti kondisi sekitarnya tanpa membuat seseorang yang terdidik memiliki pola pikir destruktif.

Baca Juga:  Jangan Kaget! Ini Alasan Jusuf Kalla Dukung Pasangan Anies-Cak Imin

“Jadi model pendidikannya itu bukan diarahkan menjadi seperti masyarakat kota,  tapi model pendidikannya menguatkan adat, bagaimana hutan tidak hilang,” kata Butet di Bandung, Sabtu (1/2/2020).

Karena itu, menurutnya, orang rimba menyebut pensil atau alat tulis sebagai “setan bermata runcing”. Setan itu begitu menyeramkan karena kerap membawa perubahan negatif terhadap masyarakat adat.

Melalui buku tersebut, para relawan pendidik masyarakat adat dapat mengetahui sejumlah pengalaman yang dihadapi Sokola Institut selama kiprahnya. 

Berbeda dengan tenaga pendidik untuk masyarakat pelosok, menurutnya, pendidik yang ia maksud adalah relawan yang bertujuan untuk menjaga tradisi masyarakat adat, hingga mempertahankannya.

Baca Juga:  Korupsi Meikarta, Mantan Presdir Lippo Cikarang Dieksekusi ke Sukamiskin

“Para relawan itu belum menjadi pahlawan kalau hanya mengajar, tetapi bagaimana relawan pendidik itu bisa membuat suatu komunitas (masyarakat adat) mencari solusi atas masalahnya masing-masing,” katanya.

Sementara itu salah satu penulis buku tersebut, Fadilla M Apristawijaya mengatakan bahwa ada 6 persen masyarakat adat yang tinggal di 20 persen wilayah dunia. 

Menurutnya, keberadaan mereka sangat berpengaruh bagi masyarakat moderen. Karena pengetahuan mereka juga cukup berpengaruh untuk menunjang kebutuhan masyarakat perkotaan.

“Mereka berjasa untuk kita, jadi hargai keberadaannya, jadi pengetahuan tradisional mereka itu yang menjaga kita tetap hidup,” kata Fadilla.

Baca Juga:  KA Lumpuh, PT KAI Alihkan Penumpang Gunakan Bus

Buku “Melawan Setan Bermata Runcing” terbit tahun 2019 dan memiliki sebanyak 288 halaman. Buku tersebut mengulas tentang Sokola Institut itu sendiri, pendekatan filosofis memahami masyarakat adat, literasi dasar, hingga bijak dalam memahami arti istilah buta huruf.

Metode Sokola menekankan pada pentingnya menetap (live in) bersama komunitas dalam jangka watu yang lama, bahkan sampai bertahun-tahun, menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat dan sebisa mungkin mengajar dalam bahasa lokal.

Buku ini juga ditujukan agar masyarakat adat di sana dapat memecahkan persoalan keseharian yang mereka hadapi, khususnya saat berhadapan dengan “orang luar”. Hal lain yang tidak kalah penting yaitu masyarakat adat dapat mempertahankan identitas adat mereka. (Ara)