Soal Guru Idi dan Standar Moral “Viral”

Penulis : Widdy Apriandi (Pegiat Literasi Purwakarta)

Idianto, guru SMAN 12 Bekasi, sedang ramai diperbincangkan. Namanya mulai muncul ke permukaan sejak video pemukulannya kepada siswa yang terlambat datang viral di media sosial, belum lama ini. Jagad dunia maya pun kontan berisik.

Seperti gambaran kasus-kasus viral yang sudah-sudah, Pak guru Idi telak masuk ‘ruang’ penghakiman netizen. Dia dikecam. Digoblok-gobloki. Tidak hanya itu, sekolah tempat dia bekerja sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan pun ikut-ikutan terkena efek viral. Bikin resah manajemen sekolah.

Itu saja tidak cukup. Standar moral “viral” yang berisik dan liar pun akhirnya tiba di zona pandang Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Nasib celaka Pak Guru Idi sampai pada titik klimaksnya. Emil, sapaan akrab Si Gubernur, memerintahkan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat untuk menghukum Pak Guru Idi dengan sanksi tegas. Dan untuk tidak dianggap sekadar “kumur-kumur”, pada hari Jum’at (14/02) lalu, Pak guru Idi sudah dicopot dari jabatan sebagai Wakil Kepala Sekolah sekaligus dipecat sebagai guru. Belum lagi, ada ekstra ‘teror’ yang disisipkan untuk Pak guru Idi. Yaitu, bahwa masih akan ada penyelidikan untuk memastikan ada perbuatan pidana atau tidak.

Baca Juga:  Idul Fitri 1440 H, Abu Bakar Bassyir dan Gayus Tambunan Dapat Remisi

GURU : SI MACAN OMPONG!

Fenomena tersebut, terus terang, sangat menyayat hati. Bahwa terlepas dari narasi kemanusiaan dan kasih sayang yang menjadi dasar pertimbangan, posisi guru hari ini ternyata sangat rapuh. Mereka bisa begitu cepat dipecat dan terancam pidana untuk tindakan yang mereka lakukan kepada para siswanya.

Memang, kita tidak bisa menutup mata begitu saja. Boleh jadi, di luar sana, ada guru-guru yang melakukan “kekerasan” dalam arti sebenarnya. Tanpa sebab, selain gara-gara emosi tinggi. Tapi, kasus Pak guru Idi adalah lain hal. Dalam hal ini, ada narasi pembanding, dimana para siswa memberikan testimoni dan bahkan menggerakkan petisi.

“Pak Idi tidak salah. Dia memang tegas dan bermaksud menegakkan disiplin,” jelas salahsatu siswa sebagaimana dikutip Kompas (14/02).

Ketika ada narasi pembanding, maka para pengambil kebijakan, termasuk Gubernur Emil, mestinya bisa menganalisa jauh lebih dalam (depth) dan cerdas. Tidak reaksioner, sehingga terkesan takluk pada opini publik akibat keberisikan fenomena viral.

Terlebih, yang juga harus menjadi perhitungan adalah imbas keputusan tersebut. Guru, pada akhirnya, kehilangan otoritas pengajaran. Mereka tidak lagi berstatus ‘mulia sebagai penerus tugas para nabi (profetik)—selaku pendidik. Alih-alih, sebatas manusia-pekerja yang berdomisili kerja di sekolah dan menjalankan fatsun kurikulum. Sementara, para siswa merasa bisa tengil, nakal dan tidak beretika atas dasar perlindungan Hak Azasi Manusia dan bekingan orang tua (dan bahkan ormas) di belakangnya.

Baca Juga:  Hati-hati! Barangkali Milik Anda, Ini Modus Pencuri Ternak Saat Sahur

Guru tidak lebih dari macan ompong. Dituntut ‘mengaum’ demi tugas mendidik para siswa agar menjadi “manusia unggul”. Sementara, pada prakteknya, mereka dipotong ‘taring’-nya oleh batasan politis dan hukum absurd berdasarkan pengadilan opini massa—yang seringkali banal.

Lalu, dari mana “manusia unggul” itu bisa lahir selain dari institusi-institusi pendidikan? Bagaimana mereka akan terbentuk, sementara para pendidik terbelenggu dan kehilangan otoritas pengajaran?

Siapapun akan sepakat bahwa guru harus mencintai para siswanya. Tapi, wujud “cinta” tidak harus selalu dalam bentuk tutur manis dan kesabaran tingkat dewa. “Cinta” pada waktu yang sama bisa dalam bentuk hukuman yang diberikan demi mengembalikan para siswa ke jalan yang benar!

ADVOKASI PAK GURU IDI

Lemahnya posisi tawar (bargaining position) Pak guru Idi jelas harus disambut advokasi yang ajeg. Saya sangat berlega hati karena sudah ada orang-orang yang terpanggil untuk merespon kasus beliau.

Baca Juga:  Seorang Karyawati Alfamart di Tanggerang Diancam UU ITE, Hotman Paris Tawarkan Jasa Gratis

Diantaranya adalah Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI, Dedi Mulyadi. Dalam pernyataan persnya, beliau menegaskan tidak setuju terhadap keputusan pemecatan Pak guru Idi. Menurutnya, guru yang diberikan tanggung-jawab terhadap disiplin dan karakter siswa mestinya dilindungi, bukan diberhentikan alias dipecat.

Sementara, soal keterlibatan Gubernur Emil dalam merespon kasus Pak Guru Idi, mantan Bupati Purwakarta, dia menyinggung bahwa peran pemimpin harusnya bisa mengayomi.

“Mestinya seorang pemimpin melindungi guru tersebut karena sudah memiliki tujuan baik, yakni demi mendisiplinkan siswa dan membangun karakter anak,” tandasnya melalui Kompas (15/02).

Saya pribadi berharap beliau bisa melanjutkan langkah advokasi untuk Pak guru Idi. Sehingga, selain demi keadilan personal sang guru, advokasi tersebut juga akan berdampak pada konteks pendidikan di masa yang akan datang. Lebih khusus, untuk urusan otoritas pengajaran guru kepada para siswanya.

Selebihnya, partisipasi kita sebagai komunitas sipil (civil society) juga merupakan sesuatu yang bernilai “perlu” (urgent). Kita bisa mendukung Pak guru Idi dengan beragam cara. Diantaranya dengan sama-sama menggerakkan petisi di laman change.org. Lebih lengkapnya, ini link yang bisa anda ikuti : https://www.change.org/p/dinas-pendidikan-kota-bekasi-jangan-mutasi-menonaktifkan-pak-idianto. (*)

Tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.