Kunjungan SMSI: Pemerintah Harus Segera Bantu Korban Banjir Bandang Lebak

JABARNEWS | BANTEN – Sejak banjir bandang dampak meluapnya sungai Ciberang dan sungai Cidurian melanda 6 kecamatan di Kabupaten Lebak, Banten pada 1 Januari 2020 lalu, sampai kini sebagian besar memilih tinggal di gubuk darurat tak layak huni sejak sepekan terakhir.

Meski tempat pengungsian sementara di Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Rindam III Siliwangi, Kecamatan Sajira yang terbilang lebih nyaman. Warga masyarakat korban bencana, lebih memilih tinggal di gubuk-gubuk lokasi di kampung Cigobang Anyar, Desa Banjarsari, Kecamatan Lebakgedong.

Lokasi ini jauh di atas kampung mereka yang luluh lantah. Kira-kira berada di 1.200 meter diatas permukaan laut (mdpl) atau berada  di bawah kaki Gunung Halimun Salak.

Hasil laporan pantauan, Minggu (16/02/2020) kunjungan tim insan pers Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang juga tergabung dalam Perkumpulan Urang Banten (PUB) menyebutkan, mereka menempati bangunan sederhana terbuat dari kayu hutan liar dengan atap dan dinding seadanya dari terpal.

Luas bangunan gubug rata-rata 3 meter kali 4 meter, tanpa dapur dan toilet. Kebutuhan buang hajat dilakukan di hutan-hutan sekitar lokasi hunian sementara (huntara). Jika keadaan tak mendesak, buang air besar bisa dilakukan di air selokan yang jaraknya sekitar 800 meter dari lokasi hunian, dan juga tanpa aliran listrik dan air bersih.

Bangunan gubug darurat ini dibangun warga secara swadaya dan bantuan dari para relawan diantaranya dari Perkumpulan Urang Banten (PUB), sebanyak 26 unit hunian sementara (huntara) dan santunan.

Baca Juga:  Beberapa Manfaat Lemak bagi Tubuh, Diantaranya Sumber Energi

Ketua Dewan Penasehat SMSI sekaligus Ketua PUB Pusat, Letjen Purn Taufiequrachman Ruki mengatakan rasa prihatin atas apa yang dialami warga karena  hampir 2 bulan mereka hidup di tenda pengungsian.

“Ini sesungguhnya tidak layak disini. Distribusi logistiknya susah. Menyediakan air dan listrik juga butuh biaya besar, sementara ini bukan lokasi hunian ideal. Tapi karena warga ingin mendekat ke ladang dan kebun mereka, ya apa boleh buat. Kita bantu mereka sebisanya,” ujar Taufiequrachman Ruki.

Mantan Ketua KPK ini berharap pemerintah dan semua pihak  segera menetapkan lokasi yang aman bagi hunian warga korban bencana. Hal ini akan memudahkan para relawan dan donatur yang siap membangunkan hunian tetap bagi warga, khususnya yang telah kehilangan rumah beserta harta bendanya.

“Memang kita harus kerja cepat, dimana lokasi yang aman untuk ditinggali. Kalau sudah ada lokasi, bisa segera dibuatkan hunian tetap. Kalau begini kan sangat mengkhawatirkan. Walaupun bagi warga kampung, rumah seperti ini sudah cukup untuk sementara tinggal, tapi bagi kita, ini kan sangat tidak layak,” ujarnya.

Dia menambahkan, setelah melihat ke lokasi langsung, warga korban bencana harus segera mendapatkan  bantuan air bersih dan dan memasang genset. Pemerintah daerah dan pusat harus segera mendahulukan hal itu.

Baca Juga:  Tim Tari Pelajar Indonesia Raih Penghargaan Internasional di Inggris dan Georgia

Pasalnya lokasi huntara yang berada di puncak gunung tidak tersedia sumber air bersih. Sehingga warga hanya menggunakan air sawah yang jaraknya pun lebih dari 1 kilometer dari lokasi hunian.

“Mereka telah kehilangan rumah dan isinya. Tak ada tempat untuk pulang, sementara tinggal di huntara, tapi apalah daya disini tidak ada air bersih dan listrik, padahal itu dasar kebutuhan,” ungkapnya.

Bares (50), korban warga setempat kepada rombongan PUB mengaku, dirinya bersama warga lain Sudan 2 bulan lebih tinggal jauh di gunung menempati gubuk-gubuk sementara. Warga sudah tidak betah dan berharap bisa hidup normal kembali ke kampung, namun rumah-rumah mereka sudah tidak ada.

Bared melanjutkan, awalnya pada pekan pertama setelah kejadian banjir bandang, dia dan beberapa keluarga bertahan di tenda hutan dekat lokasi bencana. Sebab ada beberapa warga korban bencana yang belum ditemukan. Selain itu, beberapa korban meninggal dunia belum dipulasara secara Islami, yaitu ditahlilkan selama tujuh hari.

“Baru semua korban ditemukan, baru kami sekeluarga ngungsi ke Ciuyah, tempat pengungsian dari pemerintah. Selama 17 hari di sana, lalu pindah ke rumah orang tua di Cisimeut. Tapi cuma 10 hari, soalnya ingat aja kesini. Kasihan kebun tak ada yang merawat.  Kalaupun bertahan di pengungsian, kami bingung mau ngapain disana,” ujar Bared didampingi istrinya Rukmanah.

Baca Juga:  Didatangi Imron Rosyadi, Begini Nasib Pengidap Cerebral Palsy di Cirebon

Hal ini dibenarkan oleh Anis Mujtahidin, Kepala Desa Banjasari, Kecamatan Lebakedong, Kabupaten Lebak.  Menurut dia, sedikitnya ada 140 kepala keluarga dari Desa Banjarsari yang mengungsi di Puslatpur Rindam III Siliwangi Ciuyah, Sajira.

Sejak 10 hari lalu, mereka memilih kembali ke kampung halaman dan membuat gubug darurat di sepanjang jalan milik PT Cemindo Gemilang.

“Saat ini sudah sekitar 80 kk yang telah membuat gubug darurat. Kami tak bisa berbuat apa-apa lagi, warga ingin kembali, tapi lokasi yang aman tidak tahu dimana,” ujar Anis.

Uniknya, kendati menjadi korban bencana banjir bandang, di sepanjang jalan menuju lokasi yang rusak berat, warga setempat yang menjadi relawan untuk para relawan yang datang. Mereka menjadi penolong bagi kendaraan yang melintas dan kesulitan menanjak. Mereka juga sepanjang hari memperbaiki jalanan yang rusak akibat longsor untuk bisa dilintasi.

Sementara, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Firdaus yang juga Wakil Ketua Umum Bidang Media dan Publikasi PUB, menyampaikan kepada.  seluruh pengurus dan anggota SMSI baik di pusat dan di daerah untuk peduli terhadap kondisi lingkungan sosial di daerah masing-masing.

“Para pengurus dan anggota SMSI, tidak hanya mengelola bisnisnya saja, kita juga harus peduli dan hadir di tengah masyarakat yang membutuhkan,” kata Firdaus. (Robby)