PWI: Pemerintah Boleh Beri Sanksi Pers, Langgar Nilai Demokrasi

JABARNEWS | JAKARTA – Kewenangan pemerintah yang dapat memberi sanksi kepada pers dalam RUU Omnibus Law bertentangan dengan UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers dan berpotensi menghalangi kemerdekaan pers yang salah satu fungsinya memenuhi hak masyarakat dalam menegakan nilai-nilai demokrasi.

Atas rancangan undang-undang tersebut yang diajukan pemerintah, organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) secara resmi menegaskan penolakannya. PWI menolak hadirnya beberapa pasal yang dapat membungkam pers dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Kendati diakui ada yang patut didukung, terkait beberapa pasal dalam draft rancangan undang-undang itu yang mendukung pers agar semakin profesional.

Baca Juga:  Detik-detik Rangga Sasana Cs Hadapi Sidang Perdana Secara Virtual

Hal ini diungkapkan Ketua PWI Pusat, Atal S Depari dalam diskusi terbatas tentang RUU Cipta Kerja yang bersentuhan dengan UU No.40/1999 tentang pers di lingkungan PWI Pusat Jakarta, Kamis (20/02/2020).

“Kami menolak adanya Pasal 18 ayat (4) yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah untuk mengatur sanksi administrasi terkait pelanggaran Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 UU Pers,” tegas Atal Depari.

Dia menyebut, UU Pers tidak boleh membuka pintu belakang dengan memberikan kewenangan melalui PP. Silakan sanksi diatur pada Pasal 18 ayat (3) UU Pers saja seperti sekarang ini. Disisi lain, jika sanksi nominal pers dinaikan, PWI setuju saja, asal tidak membunuh kemerdekaan pers.

Baca Juga:  Inilah Beberapa Zodiak yang Memiliki Jiwa Kemimpinan Alami

“Mengenai naiknya sanksi sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (2), sikap PWI setuju. Inikan bentuk kesetaraan dihadapan hukum, baik untuk orang yang menghalangi kerja jurnalistik maupun perusahaan pers pelanggar Pasal 5 ayat (1) UU Pers,” ucapnya kepada pers kemarin.

Baca Juga:  Tega Banget, 17 Ekor Kambing Milik Warga Ciamis Hilang Diembat Maling

Naiknya sanksi ini diharapkan bisa menjadi pengingat baik kepada masyarakat atau pers itu sendiri. Sanksi pidana pers yang semula pidana dendanya Rp 500 juta naik menjadi Rp 2 miliar.

Adapun terkait Pasal 18 ayat (1) khususnya yang merujuk kepada Pasal 4 ayat (3), Atal meminta narasinya diubah. Legal standing pasal ini tidak semata perusahaan pers saja, tetapi juga wartawan.

“Setidaknya ada dalam penjelasan yang dimaksud pers nasional adalah perusahaan pers dan atau wartawan,” ujarnya. (robby)