Soal Isu Pemindahan Ibu Kota, Begini Penjelasan GIE

JABARNEWS | BANDUNG – Isu pemindahan ibu kota Indonesia menjadi polemik tersendiri dikalangan berbagai pihak politikus akademisi dan sejarawan. Namun, ada beberapa pertimbangan yang harus dipahami menurut Gerakan Indonesia Emas (GIE).

Menurutnya, dalam pemilihan calon lokasi ibu kota baru ini Kalimantan dipandang cocok dan strategis. Pasalnya, ada beberapa pertimbangan mulai dari lahan kosong yang masih luas, minim gempa, posisi strategis, pemerataan ekonomi dan biaya pembangunan.

“Pada lokasi yang dipilih oleh pemerintah, negara sudah menguasai lahan sebesar 180 hektar. Hal ini mempermudah proses pemindahan ibu kota karena tidak perlu lagi mengurus prosedur pengambilalihan lahan,” kata CEO GIE, Irwan Hendrawan dalam keterangan yang diterima, Jum’at (27/3/2020).

Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Kalimantan tidak ada risiko bencana gempa bumi dan tsunami. Faktor ini sangat penting, karena sebagai pusat pemerintahan, kerusakan akibat bencana alam harus bisa dicegah.

Baik Kalimantan Timur maupun Tengah, merupakan area aman bencana jika dibandingkan dengan Jakarta, atau bahkan Pulau Jawa pada umumnya.

“Selain itu, terganganggunya kinerja pemerintah karena masalah banjir seperti yang terjadi di Jakarta bisa dihindari,” ucapnya.

“Pulau Kalimantan berada di tengah jajaran pulau di Indonesia. Ini artinya, koordinasi untuk pembangunan ke wilayah barat atau timur Indonesia bisa berjalan lebih efektif. Pengiriman delegasi ke berbagai daerah juga bisa lebih mudah dan cepat jika lokasi pusat pemerintahan lebih strategis. Artinya, biaya perjalanan dinas ke daerah-daerah bisa jadi lebih murah,” tambahnya.

Selama ini, lanjut dia, pembangunan terkesan hanya berpusat di Pulau Jawa saja. Dengan adanya pemindahan pusat pemerintahan, diharapkan pembangunan akan jadi lebih merata. Nantinya juga akan berakibat pada pemerataan penduduk serta meningkatnya kesejahteraan masyarakat.

Terkait biaya proses pemidahan ibu kota, Irwan menjelaskan bahwa ada Rp.466 triliun untuk membangun lahan 40.000 hektare. Hal ini sempat dijabarkan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. Dari angka ini, hanya sekitar 19% yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sisanya merupakan investasi swasta serta Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

“Adapun biaya ini nantinya akan digunakan untuk pembangunan fasilitas seperti gedung leglislatif, yudikatif, dan eksekutif. Selain itu, akan dibangun juga fasilitas tempat tinggal untuk pegawai negeri dan militer, fasilitas pendidikan, kesehatan, serta keamanan,” tutupnya. (RNU)