Cuaca dan Iklim Bisa Pengaruhi Penyebaran Covid-19? Ini Penjelasannya

JABARNEWS | BANDUNG – Dalam ratas online Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Presiden Joko Widodo, sempat menyinggung ihwal cuaca Indonesia yang turut mempengaruhi perkembangan virus corona. Kendati dia tak merinci apa kaitannya cuaca dan virus SARS-CoV-2 tersebut.

Sebagian besar wabah virus corona terjadi di wilayah-wilayah yang cuacanya sejuk. Hal ini memicu spekualasi bahwa Covid-19 kemungkinan menghilang seiring tibanya musim panas.

Hal tersebut ditegaskan dalam analisis statistik, pemodelan matematis dan studi literatur tengan Pengaruh Cuaca dan Iklim dalam Penyebaran Covid-19 yang dilakukan tim Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) dan diperkuat oleh 11 Doktor di bidang Meteorologi, Klimatologi dan Matematika, serta didukung oleh guru besar dan Doktor Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM.

Kepala BMKG, Dwikorita, mengatakan, hasil kajian sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo dan beberapa kementerian terkait pada 26 Maret 2020 yang lalu.

Sebagaimana disampaikan dalam penelitian Araujo dan Naimi (2020), Chen et. al. (2020), Luo et. al. (2020), Poirier et. al (2020), Sajadi et.al (2020), Tyrrell et. al (2020), dan Wang et. al. (2020) disebutkan adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam penyebaran wabah Covid-19.

Hasil analisis Sajadi et. al. (2020) serta Araujo dan Naimi (2020) juga menunjukkan sebaran kasus Covid-19 pada saat outbreak gelombang pertama, berada pada zona iklim yang sama, yaitu pada posisi lintang tinggi wilayah subtropis dan temperatur sedang. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa negara-negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis.

Penelitian Chen et. al. (2020) dan Sajadi et. al. (2020) menyatakan bahwa kondisi udara ideal untuk virus corona adalah temperatur sekitar 8 – 10°C dan kelembapan 60-90%. Artinya dalam lingkungan terbuka yang memiliki suhu dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi llingkungan yang kurang ideal untuk penyebaran kasus Covid-19.

Baca Juga:  Soal Rencana Naturalisasi, Ini Komentar Mantan Kiper Timnas

Para peneliti itu menyimpulkan bahwa kombinasi dari temperatur, kelembapan relatif cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi COVID-19. Selanjutnya penelitian oleh Bannister-Tyrrell et. al. (2020) juga menemukan adanya korelasi negatif antara temperatur (di atas 1°C) dengan jumlah dugaan kasus COVID-19 per-hari.

Mereka menunjukkan bahwa bahwa COVID-19 mempunyai penyebaran yang optimum pada suhu yang sangat rendah (1-9°C). Artinya semakin tinggi temperatur, maka kemungkinan adanya kasus COVID-19 harian akan semakin rendah.

Lebih lanjut Wang et. al. (2020) menjelaskan pula bahwa serupa dengan virus influenza, virus Corona ini cenderung lebih stabil dalam lingkungan suhu udara dingin dan kering. Kondisi udara dingin dan kering tersebut dapat juga melemahkan “host immunity” seseorang, dan mengakibatkan orang tersebut lebih rentan terhadap virus sebagaimana yg dituliskan dalam studi Wang et al. (2020) tersebut.

Demikian pula Araujo dan Naimi (2020) memprediksi dengan model matematis yang memasukkan kondisi demografi manusia dan mobilitasnya, mereka menyimpulkan bahwa iklim tropis dapat membantu menghambat penyebaran virus tersebut.

.

Mereka juga menjelaskan lebih lanjut bahwa terhambatnya penyebaran virus karena kondisi iklim tropis dapat membuat virus lebih cepat menjadi tidak stabil, sehingga penularan virus Corona dari orang ke orang melalui lingkungan iklim tropis cenderung terhambat, dan akhirnya kapasitas peningkatan kasus terinfeksi untuk menjadi pandemik juga akan terhambat.

Kajian oleh Tim Gabungan BMKG-UGM ini menjelaskan bahwa analisis statistik dan hasil pemodelan matematis di beberapa penelilitian di atas mengindikasikan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada outbreak yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang linggi.

Baca Juga:  Pernikahan Viral! Bikin Salut Nih, Mempelai Wanita Minta Mahar Rp 500

Akan tetapi hal tersebut bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang kedua. Meningkatnya kasus pada gelombang ke dua saat ini di Indonesia tampaknya lebih kuat dipengaruhi oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial.

Kondisi cuaca atau iklim serta kondisi geografi kepulauan di Indonesia, sebenarnya relatif lebih rendah risikonya untuk berkembangnya wabah COVID-19. Namun fakta menunjukkan terjadinya lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia sejak awal bulan Maret 2020.

Indonesia yang juga terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27-30 derajat celcius dan kelembapan udara berkisar antara 70-95%, dari kajian literatur sebenarnya merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak COVID-19.

Namun demikian fakta menunjukkan bahwa kasus Gelombang ke-2 COVID-19 telah menyebar di Indonesia sejak awal Maret 2020 yang lalu. Hal tersebut diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia.

Akhirnya laporan Tim BMKG-UGM merekomendasikan berdasarkan fakta dan kajian terhadap beberapa penelitian sebelumnya, bahwa apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat (Luo et. al. 2020 dan Poirier et. al., 2020), maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut.

Selain itu perlu diwaspadai pula bahwa memasuki bulan April sampai Mei ini, sebagian besar wilayah Indonesia memasuki pergantian musim, yang sering ditandai dengan merebaknya wabah Demam Berdarah.

Baca Juga:  Terjungkal dari Motor, Begini Nasib Pelaku Curanmor Di Sergai

Jadi secara umum hasil kajian Tim BMKG dan UGM ini juga sangat merekomendasikan kepada masyarakat untuk terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh. Upaya ini diharapkan dapat dilakukan dengan memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat.

Beraktivitas atau berolah raga perlu ditingkatkan terutama pada April hingga puncak musim kemarau Agustus nanti, yang diprediksi akan mencapai suhu rata-rata berkisar antara 28 derajat Celcius hingga 32 derajat Celcius dan kelembapan udara berkisar antara 60% s/d 80%

Dwikorita menyampaikan semakin tinggi temperatur, maka kemungkinan adanya kasus Covid-19 harian akan semakin rendah. Dia menjelaskan pula serupa dengan virus influenza, virus Corona ini cenderung lebih stabil dalam lingkungan suhu udara dingin dan kering.

“Kondisi udara dingin dan kering tersebut dapat juga melemahkan host immunity seseorang,” katanya.

Dwikorita mengatakan berkembangnya kasus di Indonesia disebabkan karena penularan. Dia mengimbau warga untuk disiplin dalam physical distancing.

“Meningkatnya kasus pada gelombang ke dua saat ini di Indonesia tampaknya lebih kuat dipengaruhi oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial,” ucapnya.

Selain itu, upaya penting yang harus lebih ketat adalah dengan menerapkan “physical distancing” dan pembatasan mobilitas orang ataupun dengan “tinggal di rumah”.

Upaya individual ini harus pula disertai intervensi kesehatan masyarakat, sebagai upaya untuk memitigasi atau mengurangi penyebaran wabah Covid-19 secara lebih efektif. Cuaca yang sebenarnya menguntungkan ini, tidak akan berarti optimal tanpa penerapan seluruh upaya tersebut dengan lebih maksimal dan efektif. (Red)