Pandangan Para Pakar Politik Terkait Penundaan Pilkada 2020

JABARNEWS | BANDUNG – Di tengah terjadinya pandemi Covid-19, penyelenggaraan Pilkada tahun 2020 pada akhirnya ditetapkan untuk diundur pelaksanaannya hingga 9 Desember 2020.

Penundaan waktu Pilkada serentak tentu didasarkan pada pertimbangan keamanan dan keselamatan seluruh warga Negara, sebab pelaksanaan Pilkada sangat memungkinkan terdorongnya konsentrasi massa atau manusia dalam jumlah yang banyak, baik pada saat kampanye maupun pada waktu pemilihan dan perhitungan suara.

Menanggapi hal tersebut, para pakar politik melakukan diskusi soal rescheduling Pilkada 2020 untuk menemukan solusi alternative bila ternyata masa pandemic Covid-19 ini jauh lebih lama, yang berarti bisa jadi Pilkada 2020 tidak diselenggarakan pada tahun ini, melainkan pada tahun 2021.

Pakar politik, Ferry Kurnia Rizkyansyah yang merupakan eks komisioner KPU ini mengatakan, bencana Covid-19 ini harus jadi perhatian bersama bukan hanya Pemerintah tapi seluruh elemen masyarakat, termasuk dampaknya dalam gelaran demokrasi besar seperti Pilkada Serentak 2020.

Menurutnya, ada 220 daerah yang seharusnya melaksanakan pilkada namun harus ditunda. Sedangkan ada beberapa poin yang harus di cermati. Pertama, perhelatan demokrasi dalam pemilu itu harus free and fare election. Kedua, pemilu bisa di prediksi secara procedural, tapi tidak secara hasil.

Baca Juga:  Aduh! Ratusan Ribu Kosmetik Berbahaya Disita Polda Jabar

“Yang perlu adalah kepastian prosedur seperti regulasi penyelenggaraan. Urgensi Pilkada itu adalah memilih pemimpin untuk kesejahteraan rakyat,” kata Ferry dalam diskusi web yang disaksikan Jabarnews.com, Rabu (22/4/2020).

Ketiga, lanjut dia, kualitas pilkada yang dipertaruhkan, dalam kondisi normal KPU sering digugat, apalagi dalam kondisi bencana Covid-19. Keempat, teknis penyelenggaraan dan protocol kerja, jangan sampai protocol kerja tidak jelas. Kelima, pemerintah mengeluarkan Perpu karena tidak mungkin pada September 2020. 2021 sangat moderat untuk proses Pilkada dan masa jabatan perlu diatur agar tidak berbarengan Pemilu Nasional.

“Pelaksanaan 2020 beresiko, oleh karena itu usulan yang moderat adalah diundur ke 2021. Disamping itu kita harus liat sisi politis, ada beberapa pejabat public/petahana yang memanfaatkan untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas,” jelasnya.

Sedangkan, pengamat politik Universitas Padjadjaran yang juga merupakan Direktur Eksekutif Polsight, Yusa Djuyandi membeberkan beberapa catatan penting terkait pemberhentian Pilkada serentak.

Pemerintah harus membuat aturan yang flexible untuk mengatur Pilkada 2020 untuk menghindari resiko pandemi Covid-19 dan memberikan efek domino pada banyak sektor, termasuk politik.

Covid-19 merupakan salah satu bentuk ancaman keamanan non-tradisional, oleh sebab menimbulkan cukup banyak korban jiwa dan kerugian yang besar kepada Negara dan bangsa.

Baca Juga:  Simak, Berikut Ini Ada Program Spesial Piaggio Indonesia

“Karena penyebarannya yang cepat dan mengancam kehidupan manusia maka keputusan untuk memundurkan waktu Pilkada serentak 2020 adalah tepat,” ucapnya.

Jika, tambah dia, demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat maka pemunduran waktu Pilkada serentak adalah untuk kepentingan rakyat. Pemerintah perlu membuat kebijakan atau aturan yang tepat dengan adanya pemunduran waktu Pilkada ini, dengan mempertimbangkan aspek politik, sosial, ekonomi dan keamanan. Kebijakan itu dapat berbentuk Perpu.

“Kebijakan juga perlu memperhitungkan berbagai skenario, dikahwatirkan pandemic Covid-19 ini berlangsung lebih lama. Sehingga bisa saja Pilkada dilaksanakan pada 2021,” bebernya.

Hal senada juga dikatakan, Direktur Politik dan Strategi Polsight, Indra Kusumah yang menyebut bahwa Pemerintahan akan berdampak seperti bebebrapa kepala daerah akan habis masa jabatan, sehinga akan ditunjuk Plt, Kepala Daerah. Semakin panjang penundaan semakin panjang masalahnya.

Dengan Perpu, ungkap dia, bisa menambahkan masa jabatan kepala daerah yang sudah abis atau Plt dapat mengambil keputusan/tanda tangan seperti kepala daerah definitive. Semuanya kemungkinan itu harus disiapkan dalam kerangka aturan yang jelas.

Baca Juga:  Resmi, PPP Usung Duet Herman-TB Mulyana di Pilkada Cianjur

“Perpu lebih mudah pembahasannya dibandingkan UU di DPR. Hasil bisa diprediksi melalui survei. Tapi mungkin survei hari ini dan 6 bulan ke depan akan berbeda,” ungkapnya.

Disisi lain, pengamat politik analisis pemilihan, Denden Deni Hendri menjelaskan, skenario planning saat ini semua gelombang Pemilu serentak dilakukan pada 2024. Gelombang 1 2015, Gelombang 2 2017, Gelombang 3 2018 dan sebagainya.

Menurutnya, Perpu ini ditantang untuk menyelesaikan tantangan yang ada. Apakah Perpu ini hanya menunda atau menciptakan sistem yang merubah. Dia menilai, DPR sudah Menyusun UU Pemilu yang baru, ada 3 Opsi. Perpu bisa mengadopsi RUU Pemilu.

Opsi A: Pemilu lokal/Pilkada diselenggarakan 2022. Opsi B: Pilkada 2020 dilakukan pada 2021 tetapi ujungnya Pilkada serentak secara nasional akan diselenggarakan pada 2026, dampaknya rencana Pemilu serentak 2024 waktunya menjadi mundur. Opsi C: Pemilu serentak tetap dijalankan pada 2024.

“Opsi A dan Opsi B dianggap cukup Compatibel. Perpu sebaiknya mengambil Opsi B pada tahun 2021 tanpa mengambil bulan untuk mengantipasi Covid-19. Saat ini baru ada Perpu 1/2020 tentang Keuangan Negara. Perpu Pemilu harus mengadopsi RUU Pemilu dan masukan dari KPU. Hidup Kembali pilkada 2022 dan 2023,” jelasnya. (Rnu)