Ada Pandemi Corona, Pemerintah Diminta Bebaskan Napi Narkoba

JABARNEWS | BANDUNG – Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan kebijakan membebaskan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) untuk pencegahan virus corona atau Covid-19 di lapas dan rutan yang kelebihan penghuni per 21 April 2020 telah melakukan pengeluaran dan pembebasan terhadap 38.822 orang.

Hal ini dilakukan berdasarkan Permenhukam No.10 tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak.

“Kami mengapresiasi kerja pemerintah untuk mencegah penyebaran massif Covid-19 di Rutan dan Lapas di Indonesia. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh Pemerintah adalah mempersiapkan pengeluaran dan pembebasan WBP fokus pada kelompok rentan atau dengan tingkat risiko tinggi terpapar Covid-19, seperti lansia, ibu hamil atau dengan anak, Anak, WBP dengan penyakit bawaan atau yang sedang dalam kondisi sakit, serta pengguna narkotika di dalam Rutan dan Lapas,” jelasnya.

Khusus untuk pengguna narkotika, pandemi Covid-19 harus jadi momentum pemerintah untuk memperbaiki kebijakan narkotika yang membebani negara selama ini. Per Maret 2020 jumlah penghuni Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 270,466 orang, padahal kapasitas Rutan dan Lapas hanya dapat menampung 132,335 orang. Itu berarti beban Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 204%.

Jika kita lihat dari jumlah WBP, per Maret 2020, 55% WBP berasal dari tindak pidana narkotika, sebanyak 38.995 WBP merupakan pengguna narkotika. Bahkan sebelumnya pada Februari 2020, 68% WBP berasal dari tindak pidana narkotika dan pengguna narkotika yang dipaksa untuk mendekam di penjara mencapai 47.122 orang.

Baca Juga:  Kasus Sengketa PT Angkasa Pura II Dinilai Acuhkan Putusan PN Bandung

Meskipun UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah merumuskan dalam beberapa pasal soal pentingnya pendekatan kesehatan masyarakat, namun kebijakan narkotika di Indonesia telah gagal memastikan upaya pendekatan kesehatan masyarakat tersebut dalam penanggulangan dampak penggunaan narkotika. Indonesia lebih memilih pendekatan perang terhadap narktoika, dengan mengedepankan pendekatan pidana yang secara global sudah diakui gagal menyelesaikan masalah dampak penggunaan narkotika.

Pengaturan karet pidana dalam UU Narkotika tidak mampu menjamin pengguna narkotika tidak dikriminalisasi dan pencadu diberikan jaminan rehabilitasi. Penjara jelas memperburuk kondisi kehidupan pengguna dan pecandu narkotika karena dalam Lapas tidak tersedia pelayanan kesehatan yang memadai, apalagi di tengah kondisi overcrowding.

Berdasarkan Penelitian Stevens (2019), Hughes (2018) dan UNODC (2010) menyimpulkan bahwa promosi hukuman tidak memiliki dampak mengurangi penggunaan narkotika. Pada negara yang memberlakukan hukuman yang keras terhadap kepemilikan dan penggunaan narkotika untuk kepentingan sendiri tidak mengurangi penggunaan narkotika dalam masyarakat ketimbang negara yang mengatur hukuman lebih ringan.

Laporan World Drug Report 2019 UNODC pun menjelaskan bahwa sejak 2009 sampai 2016, secara global permasalahan penggunaan narkotika cenderung stabil, peningkatan penggunaan narkotika hanya sebesar 30% yang merupakan dampak dari pertambahan penduduk. Banyak studi juga telah menyatakan bahwa resiko kesehatan pengguna narkotika lebih besar setelah keluar penjara. Pendekatan kesehatan masyarakat berbasis harm reduction yang harusnya diberikan kepada pengguna dan pecandu narkotika sesuai dengan rekomendasi beberapa organisasi PBB yang menetang pendekatan penghukuman bagi pengguna narkotika.

Baca Juga:  Kementerian Sosial Laksanakan Rapat Koordinasi ATENSI Pemulung

Pengeluaran WBP pengguna narkotika pun sudah disuarakan oleh Menteri Hukum dan HAM jauh-jauh hari lalu. Karena kondisi overcrowding yang sudah sangat membebani, Menteri Hukum dan HAM pada 27 April 2019 meminta pengguna narkotika tidak dipenjara. Bahkan sudah diserukan wacana untuk memberikan amnesti masalah kepada pengguna narkotika pada November 2019 lalu.

Dalam tataran kebijakan baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan juga telah diterbitkan aturan yang memberi peluang pengguna dan pecandu narkotika dihindarkan dari pemenjaraan. Maka secara politik, Pemerintah dapat dengan mudah dan sangat beralasan untuk mengeluarkan dan membebaskan WBP tindak pidana narkotika.

Perlu ditekankan bahwa tindak pidana narkotika adalah tindak pidana tanpa kekerasan, tidak semua pengguna narkotika mengalami ketergantungan atau adiksi, sehingga tidak semua pengguna narkotika memerlukan rehabilitasi. Pun untuk pengguna narkotika dengan adiksi, rehabilitasi tidak hanya dalam bentuk rawat inap, rehabilitasi bisa dilakukan dengan rawat jalan, kunjungan rutin ke pelayanan kesehatan, konseling rutin offline maupun online, termasuk terapi substitusi yang telah diatur institusi penanggungjawabnya.

Baca Juga:  Riset I2: Menhan Prabowo Populer di Twitter dalam 100 Hari Kabinet Jokowi

Sebagai catatan, penghuni Rutan dan Lapas harus dikurangi untuk mencegah resiko peyebaran Covid19. Dan kebijakan narkotika jelas menyumbangkan banyak penghuni rutan dan lapas yang seharusnya tidak dipidana sedari awal.

Maka untuk itu, Pemerintah perlu menyegerakan pengeluaran dan pembebasan WBP pengguna narkotika, dengan langkah berikut:

Pertama, lakukan assessment atau penilaian kesehatan, termasuk penilaian derajat keparahan penggunaan napza dan resiko pada semua WBP yang berasal dari kebijakan “rancu” narkotika. Dalam hal ini, banyak pengguna dan pecandu narkotika dijerat dengan pasal penguasaan dan kepemilikan UU Narkotika yang menyebakan mereka diklasifikasikan sebagai “bandar” dan dijatuhi hukuman diatas 5 tahun penjara.

Kedua, Pastikan WBP yang berasal dari tindak pidana narkotika yang murni sebagai pengguna dikeluarkan.

Ketiga, pastikan WBP dengan masalah ketergantungan napza dikeluarkan dengan memperoleh surat rujukan yang menujuk lembaga kesehatan terdekat untuk melakukan rehabilitasi atau tindakan pengawasan lainnya. Rutan dan Lapas dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah setempat dan Dinas Kesehatan setempat dalam hal ini puskesmas untuk pelaksanaan rehabilitasi atau tindakan pengawasan lainnya.

Namun, Program asimilasi dan integrasi tersebut tidak berlaku bagi pelaku kejahatan tindak pidana luar biasa seperti teroris dan korupsi sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengatur pengetatan remisi. (Red)