Covid-19 dan Uji Kompetensi Kepemimpinan

Penulis: Asep Gunawan. (Peminat Komunikasi Politik Orang Sunda dan Pegiat Literasi Falsafi, Pendiri Asgun Institute, Dewan Fakar ICMI Orda Purwakarta)

Ada rasa sedih menelusup ketika mendengar secara langsung keluh dan curhat Bupati Purwakarta, Anne Ratna Mustika, dalam menghadapi pandemi covid-19 yang disampaikan dalam acara Sosialisasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bersama para alim ulama Purwakarta di Aula Yudhistira Pemda Purwakarta, Selasa (5/5/2020).

Rasa sedih itu lebih kuat lagi ketika dengan keluh dan curhat bernada sama terdengar dari Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dalam acara Webinar yang digagas Dewan Fakar Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Barat yang bertopik Evaluasi Terhadap Penanganan Wabah Pandemi Covid-19 di Jawa Barat dan Upaya Pemulihannya.

Yang “mengerikan” dari pandemi covid-19 adalah multifier-effectnya terhadap kehidupan ekonomi, sosial, budaya, agama dan mungkin juga politik. Dampak ini yang dirasakan oleh seluruh lapisan pemimpin publik di seluruh dunia, termasuk Bupati Ane Ratna Mustika dan Gubernur Ridwan Kamil, dan mungkin juga bupati dan gubernur lainnya. Sebagai pejabat tertinggi pengambil kebijakan di daerah, bupati dan gubernur bertangungjawab penuh dalam mengatasi dan menangani pandemi berikut multifier-effectnya. Bukan hanya harus memprogram ikhtiar preventif dan kuratif terhadap pandemi yang jelas membutuhkan banyak tenaga medis handal, tetapi juga harus mengatasi dan menangani dampaknya yang membutuhkan finansial tidak sedikit.

Baca Juga:  Tahun 2017, Kasus Difteri di Jabar Mengalami Peningkatan

Di tengah keterbatasan sumber daya manusia dan finansial, ikhtiar mengatasi dan menangani pandemi tentu tidak semudah membalikan telapak tangan. Negara-negara dengan sumber daya manusia yang lebih handal dan pondasi finansial yang kuat seperti Amerika Serikat, Itali dan Singapura saja limbung dan bingung, apalagi negara dengan sumber daya manusia dan pondasi finansial terbatas seperti di Indonesia. Di sinilah justru tantangan sekaligus peluang besar bagi pemimpin publik di daerah untuk membuktikan kompetensi kepemimpinannya.

Kompetensi Pemimpin

Pemimpin publik sesungguhnya adalah manusia-manusia terpilih. Dalam konteks kepemiluan daerah, mereka sudah dinyatakan lulus uji elektoral dalam proses panjang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Namun harus diakui bahwa diantara pemimpin daerah itu tidak semuanya memiliki bakat alamiah kepemimpinan sejak di bangku sekolah, kampus, atau di masyarakat. Karena pada kenyataannya ada juga diantaranya yang by-design dibentuk dan dikondisikan untuk menjadi pemimpin daerah. Namun demikian, ketika sudah diambil sumpahnya sebagai pemimpin daerah, pada prinsipnya diferensiasi itu harus sudah tidak ada lagi. Semuanya memiliki tanggungjawab moral dan kewajiban untuk melayani publik.

Yang membedakan diantara mereka bukan lagi karena bakat kepemimpinannya, melainkan lebih berkaitan dengan kompetensi kepemimpinan. Menurut Jack Gordon (1998), ada 6 dimensi penting yang berkaitan dengan kompetensi seseorang, yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman (understanding), kemampuan (skill), nilai (value), sikap (attitude) dan minat (interest). Jika 6 dimensi penting itu terinternalisasi dalam diri seseorang akan memunculkan kecakapan berpikir dan bertindak dalam melaksanakan tugas atau tanggungjawab sesuai dengan jabatan yang didudukinya. Pada fase kumulasi tertentu, kompetensi akan membawa seseorang pada satu sikap kepemimpinan yang ideal, yakni akan lebih percaya diri, lebih kreatif, sangat visioner, memiliki tekad kuat dan sangat komunikatif.

Baca Juga:  Dinas ESDM: Eksploitasi Tambang Sepatutnya Tidak Berlebihan

Dalam mengatasi dan menangani masa krisis pandemi covid-19 seperti hari ini, karakter kepemimpinan seperti ini sangat dibutuhkan. Di tengah krisis kepercayaan diri dan ketidak-berdayaan publik yang sedang melemah, dibutuhkan sosok pemimpin yang dapat memberi sugesti dan kenyamanan untuk meningkatkan rasa kepercayaan dan keberdayaan publik. Diperkaya dengan visi yang tajam, trobosan kreativitas yang memberi banyak peluang problem-solving, tekad kuat untuk keluar dari masalah dan disiasati dengan komunikasi yang persuasif dan “kebapaan”, akan semakin menambah sugesti dan kenyamanan publik.

Bisa dibayangkan bila yang terjadi justru sebaliknya, yakni tidak percaya diri, miskin kreativitas, tidak visioner, tidak memiliki tekad kuat dan tidak komunikatif. Ujungnya bukan menjadi bagian penting dari problem-solving, yang terjadi justru pemimpin publik malah menjadi bagian dari problem. Logikanya, kemana lagi publik akan mengeluh dan curhat, jika pemimpin publik sendiri sudah mengeluh dan curhat kepada publik.

Naik Kelas

Ujian hakikatnya adalah untuk meningkatkan kelas dan derajat seseorang. Pun demikian dengan ujian kompetensi kepemimpinan para pemimpin daerah yang sama-sama berjuang mengatasi dan menangani masa krisis pandemi covid-19. Ujian tidak hanya melahirkan orang-orang yang berhasil lalu kemudian naik kelas ke tingkat yang lebih tinggi, tetapi juga melahirkan orang-orang yang gagal dan tidak naik kelas.

Baca Juga:  Miris.. PDAM Karawang Menunggak Pajak Hingga Ratusan Juta

Tingkat kerumitan dan kesulitan dalam uji kompetensi kepemimpinan pemimpin daerah dalam mengatasi dan menangani pandemi covid-19 relatif sama. Yang menjadi titik keruwetan dan kesulitan umumnya berkaitan dengan minimnya sumber daya tenaga medis dan terbatasnya finansial. Hal ini yang menjadi titik keluh dan curhat umumnya para pemimpin daerah. Dalam konteks ini pentingnya seorang pemimpin daerah memiliki visi yang tajam, trobosan kreativitas yang memberi banyak peluang problem-solving, tekad kuat untuk keluar dari masalah dan disiasati dengan komunikasi yang persuasif dan “kebapaan”.

Keberhasilan pemimpin publik mengatasi dan menangani pandemi covid-19 dengan segala kelebihan sumber daya manusia dan finansial, tentu itu hal yang biasa. Yang luar biasa adalah ketika keberhasilan mengatasi dan menanganinya itu diiringi dengan segala keterbatasan sumber daya manusia dan finansial. Tentunya hal ini akan menjadi catatan tersendiri bagi publik dan akan terus disimpan di memori publik. Dalam kacamata politik, jelas ini adalah “benefit politik” yang sangat berharga. (*)

Tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.