Dedi Mulyadi: Pelaksanaan PSBB Aneh, Cocoknya Berlaku di Kota

JABARNEWS | PURWAKARTA – Anggota DPR RI Dedi Mulyadi menilai karantina komunal yang dinilainya lebih efektif mencegah penyebaran virus corona dan ekonomi warga pun tetap bisa berjalan.

Karantina komunal, di setiap desa mulai tingkat RW disediakan tempat karantina, pos penjagaan, alat pelindung diri, ambulans dan alat pengukur suhu tubuh. Bahkan disarankan agar tes swab dilakukan di tingkat RW.

Dengan karantina komunal itu setiap pengurus RW menutup sendiri daerahnya masing-masing sehingga saat ada orang yang masuk ke kampungnya diperiksa terlebih dahulu.

Menurut dia, masyarakat desa dikenal mandiri dan mereka bisa menjaga kampungnya sendiri, membangun jalan sendiri, membangun pos ronda sendiri, dan bahkan bisa membuat sistem sendiri.

Dedi Mulyadi setuju dengan penrnyataan kepala BNPB Doni Munardo bahwa penanganan wabah Covid-19 diserahkan ke kebijakan daerah masing-masing.

Menurutnya, penanganan corona dengan berbasis kearifan lokal semestinya dari dulu disampaikan. Sehingga, kata Dedi, setiap daerah tidak serta merta meniru pengelolaan Covid-19 dengan bergaya yang sama.

Baca Juga:  Lestarikan Budaya, ASN di Kabupaten Bekasi Setiap Jumat Harus Pakai Baju Adat

Sebab, kultur antara kota dan kabupaten yang mayoritas desa adalah sangat berbeda. Gaya kepemimpinannya pun berbeda.

“Misalnya, kalau Gubernur DKI bisa total menggerakkan seluruh satkeholder disekitarnya karena kulutur alamnya hmogen. Kultur alamnya ya, bukan manusianya,” kata Dedi, Rabu (13/5/2020).

Dedi mengaku ia melihat pelaksanaan PSBB saat ini aneh. Misalnya aparat fokus tutup isolasi kota, tetapi orang tetap keluar dari gang-gang kecil hingga akhirnya mereka menumpuk di pinggiran sekitar pusat kota hingga menyebabkan kemacetan.

Menurutnya, esensi PSBB untuk mengurangi lalu lalang orang agar tidak terjadi kerumunan justru terbalik. Ini malah pemindahan arus kemacetan dari pusat kota ke pinggiran dan itu terjadi di mana-mana. Selain itu, PSBB saat ini adalah petugas sibuk menutup toko, sementara pasar tetap buka.

Baca Juga:  KSP Gagas Program Dasa Wisma 10 Rumah Aman

“Esensi PSBB itu kan mengurangi kerumunan manusia. Pertanyaan saya, kalau pasar tetap buka sementara toko tutup, lebih tinggi mana interaksi desak-desakan orang antara di pasar dengan di toko? Jelas lebih tinggi di pasar,” katanya.

Menurut Dedi, PSBB itu seharusnya bukan menutup toko melainkan mengurangi orang belanja. Saat ini, tanpa PSBB pun, toko tidak banyak dikunjungi orang karena takut tertular wabah corona.

Dedi mengusulkan bahwa meski PSBB diterapkan, toko dan pasar tetap dibuka, sehingga kebijakan pembatasan ini tidak berimplikasi lebih luas pada hilangnya mata pencahrian warga.

“Saya itu ketemu setiap orang dari sopir angkot, pedagang. Ekonomi mereka anjlok, mereka jadi pemulung. Ini akibat salah kelola dan persepsi dalam penerapan PSBB,” katanya.

Dedi mengatakan cara penanganan corona tidak mesti harus dengan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sebab, dengan PSBB banyak yang harus dikorbankan dan cara itu dinilainya tidak efektif. Menurutnya, PSBB cocok diterapkan di perkotaan.

Baca Juga:  Saat Prabowo Bingung, Dia Bilang: Kenapa Pidato Candaan Pun Dipersoalkan

Namun demikian, kalaupun PSBB diterapkan, pasar di kota tetap harus berjalan karena itu merupakan tempat penjualan produk masyarakat desa. Namun tentu saja aspek tata kelolanya sesuai dengan protokol WHO, yakni social distancing, physical distancing, memakai masker dan lain-lain.

“Tapi yang di Jakarta jangan pergi ke daerah kalau punya risiko tinggi karena orang desa harus terjaga produksinya pertaniannya agar suplai logistik untuk kota yang sedang PSBB berjalan dengan baik, tidak terganggu sehingga kebutuhan bahan makanan terpenuhi,” katanya.

Kemudian di daerah, kata Dedi, PSBB itu sebenarnya fokus pada seleksi ketat terhadap pendatang dari luar kota. Masyarakat di daerah harus dibentengi, tetapi regulasi ekonomi tetap jalan. Pasar dan toko harus buka. (Red)