Perangai Anti-Sains

Penulis: Habibah Auni (Mahasiswa Semester 8 Teknik Fisika UGM)

Sudah dua bulan rupanya negeri tercinta dilanda musibah akbar ini. Masih segar di ingatan kita semua, betapa dahsyatnya akselerasi wabah virus korona. Virus nakal ini berhasil membuat seluruh umat manusia kelabakan.

Kemudian, virus korona mengambil alih dunia, dengan mengendalikan segala gerak-gerik manusia. Manusia yang dahulu memimpin peradaban manusia, sekarang beralih menjadi pihak yang disubordinasi oleh makhluk lain. Manusia diturunkan kedudukannya dalam segi ekonomi, kesehatan, dan politik. Tentu transformasi kondisi ini membuat manusia tidak nyaman Kalau manusia mau memimpin dunia lagi, manusia harus mencari berbagai cara menaklukkan virus korona agar virus ini mau tunduk kepada mereka.

Beberapa negara tercatat berhasil membalikkan keadaan yang sangat mencekam ini. Negara-negara tersebut di antaranya adalah Korea Selatan, Austria, Jerman, Taiwan, dan Selandia Baru. Baru-baru ini Jerman dan Selandia Baru memperbolehkan warganya beraktivitas di lingkungan luar. Austria, sudah kembali membuka pusat perbelanjaan mulai. Taiwan dan Korea Selatan bahkan berhasil mencegah masuknya virus korona.

Kunci keberhasilan kelima negara ini terletak pada penggunaan sains dalam menanggulangi penyebaran virus korona. Hal ini bisa dilihat dari kegesitan pemerintah kelima negara ini dalam merespon wabah. Selain itu, kebijakan yang dibuat juga sangat tegas. Mereka meyakini bahwa solidaritas dan kesehatan menjadi garda utama dalam menuntaskan pandemi. Maka dari itu, setiap langkah kelima pimpinan negara ini dalam menanggulangi pandemi mengacu pada metode ilmiah atau sains.

Baca Juga:  Tok! Iuran SPP SMA Sederajat di Jabar Gratis Mulai Juli 2020

Menurut Nugroho (2018), sains adalah penggunaan metode ilmiah dalam memecahkan persoalan sosial. Mengingat pandemi korona menjadi perbincangan sehari-hari (atau masalah sosial), maka sudah seharusnya kebijakan yang diambil pemerintah sesuai kaidah keilmiahan.

Bila merujuk Horton dan Leslie, kebijakan sosial yang ilmiah seharusnya meliputi fungsi preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan pengembangan (developmental). Kelima negara yang disebutkan sebelumnya, sudah memenuhi persyaratan ilmiah ini.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah sudah menerapkan kaidah ilmiah dalam membuat kebijakan? Sayangnya, belum. Bahkan perilaku ketidakilmiahan ini ditunjukkan oleh negara sejak pertama kali virus korona menapakkan kakinya di bumi Indonesia.

Seperti yang kita tahu, seorang pejabat negara menolak mentah-mentah prediksi dari Universitas Harvard yang menyebutkan bahwa virus korona sudah ada di Indonesia. Padahal bisa saja studi tersebut digunakan sebagai langkah preventif wabah korona. Alih-alih seperti itu, pemerintah malah memberikan insentif berlebih terhadap sektor pariwisata dan sektor buzzer. Tentu pandemi tidak akan meradang sebanyak ini, bilamana pemerintah fokus kepada sektor kesehatan sejak dulu.

Baca Juga:  Nyi Roro Kidul Hingga Kabayan dan Nyi Iteung, Hadir Di Game Ini

Lalu bagaimana kondisi Indonesia sekarang, setelah diterapkannya larangan mudik? Sama seperti tadi, kebijakan ini tidak menyelesaikan permasalahan utama. Lagi-lagi kebijakan yang dibuat negara tidak berdasarkan kaidah ilmiah.

Hal ini bisa kita lihat dari keterlambat produk hukum mudik dalam mengikuti irama pergerakan masyarakat. Larangan mudik baru ditetapkan pada Kamis (23/04), padahal 900 ribu orang sudah mencuri start mudik. Sejumlah orang ini tentu berpotensi kuat menularkan virus korona di kampung halamannya. Andai kata larangan ini ditetapkan sejak awal kemunculan virus korona, maka kemungkinan buruk ini tidak bakal terjadi.

Dari beberapa hal yang sudah disebutkan sebelumnya, ada satu hal yang terlihat jelas dari tingkah laku negara, yakni kecenderungan untuk berperangai anti-sains. Yang ternyata, ini bukan kali pertama negara kita berperilaku seperti ini. Beberapa ahli berpendapat bahwa literasi ilmiah Indonesia dalam pembuatan kebijakan kesehatan, sangatlah kurang.

Baca Juga:  Kapolres Ciamis Minta Warga Untuk Tidak Menolak Jenazah Covid-19

Menurut Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama WHO, Tikki Pangestu, kesehatan negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak melibatkan hasil riset kesehatan dalam perumusan, pembuatan, dan pengimplementasian kebijakan.

Perihal ini menunjukkan bahwa negara kita belum melek sains. Bahkan lebih parahnya, perangai anti-sains ini sudah mengakar kuat. Negara yang sudah melek sains, seharusnya bisa menyelesaikan permasalahan sosial dengan konsep-konsep sains. Konsep sains diperoleh dari kemampuan mengidentifikasi isu-isu sains (literasi sains) yang kokoh. Namun nyatanya, yang terjadi di negara kita menunjukkan hal yang sebaliknya.

Negara sebagai state obligation, mempunyai tanggung jawab dalam memenuhi hak-hak sosial warganya. Sudah sepatutnya studi ilmiah menjadi landasan dalam merumuskan regulasi dan kebijakan di Indonesia. Karena sains terbukti sebagai juru kunci peradaban manusia, dan di tangannya lah manusia akan selamat sejahtera.

Tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.