Impor Melonjak Disaat Wabah Pandemi

Penulis: Nelly, M.Pd (Pemerhati Kebijakan Publik, Pegiat Opini Medsos)

Negeri yang dengan bangga disebut gemah ripah loh jinawi tata tentram kerta raharja kini diambang kehancuran. Betapa tidak, negeri yang memiliki kesuburan tanah, hamparan lautan, namun impor barang setiap tahun membanjiri negeri ini. Apalagi ini terjadi pada saat wabah pandemi melanda negeri, lonjakkan impor malah menggila.

Pada awal tahun 2020 hingga bulan ini untuk impor, komoditas sayuran asal China membanjiri Indonesia beberapa bulan ini. Nilainya mencapai USD 75,37 juta, naik 219,31 persen atau tiga kali lipatnya dibandingkan Maret 2020 yang hanya USD 23,60 juta. Sayangnya, BPS tak merinci lebih lanjut komoditas dari sayuran ini.

Selain sayuran, yang membanjiri negeri juga impor perangkat optik, fotografi, sinematografi, dan medis dari China yang meningkat 92,49 persen, dari USD 38,80 juta di Maret 2020 menjadi USD 74,69 juta di April 2020. (eramuslim.com, 15/5/2020)

Dari laman berita katadata.co.id, 23/04/2020 Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) mengatakan, bahwa untuk memenuhi pasokan dalam negeri perlu impor tambahan karena terjadi kenaikan kebutuhan yaitu untuk garam, bawang putih dan bawang bombai di tahun 2020 ini.

Adanya lonjakkan impor pangan yang terus membanjiri negeri memang patut untuk dipertanyakan. Sebab, kedaulatan pangan menjadi satu dari sembilan program prioritas pemerintahan yang tertuang dalam Nawacita. Bahkan pemerintah sendiri menargetkan kedaulatan pangan lewat swasembada bisa terlaksana dalam tiga tahun.

Namun, yang terjadi sangat berbeda jauh panggang dari api. Alih-alih swasembada pangan, komoditas pangan impor malah membanjiri Indonesia setiap tahunnya. Yang perlu juga dikritisi pada lonjakan impor yang terjadi saat wabah. Para punggawa pun berdalih dan mengklaim bahwa produksi lokal turun hingga untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Akan tetapi yang mengherankan, kenapa dalih pada saat pandemi menjadikan adanya pelonggaran syarat impor. Dari segi pemenuhan kebutuhan rakyat memang harus dipenuhi oleh negara, namun tidak harus dengan impor barang. Sebab kita tahu bahwa rakyat juga mampu untuk menghasilkan barang pangan tersebut, tinggal bagaimana pemerintah memberikan support pertanian hingga mampu memproduksi dengan jumlah melimpah.

Baca Juga:  Waspada! Dua Tempat di Kota Sukabumi Ini Rusak Terkena Material Longsor

Adanya perbedaan sikap antara kementerian perdagangan dan pertanian dalam soal impor di masa wabah. Ini menegaskan bahwa tidak ada kebijakan yang terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Karenanya rencana swasembada atau kemandirian produksi pangan tidak sejalan dengan peluang cukai yang ingin didapat oleh kementerian perdagangan dan kepentingan pebisnis yang mendorong pelonggaran syarat impor.

Jika ditelisik impor barang adalah cara yang paling mudah, murah dan cepat untuk mengatasi kekurangan suatu komoditi dalam sebuah negeri. Hanya saja, adanya impor justru akan membuat masalah baru dengan meningkatkan ketergantungan terhadap negara lain dan mematikan produksi di dalam negeri.

Dalam masalah impor ini kalau kita lihat sebenarnya tidak lepas dari kebijakan liberalisasi ekonomi (ekonomi neolib) yang diambil oleh rezim. Ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi politik akhir abad 20 yang prinsip dasarnya adalah menolak intervensi pemerintah dalam ekonomi.

Ekonomi neoliberal memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas. Merobohkan semua hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi. Maka jadilah rezim penguasa di negara berkembang sebagai fasilitator diterimanya berbagai bentuk agreement perdagangan bebas, yang kena dampaknya pastilah rakyat itu sendiri.

Berbagai bentuk agreement perdagangan bebas tersebut dipaksakan melalui lembaga dunia-World Trade Organization (WTO). Sejak WTO digagas di Peru tahun 1994, dominasi AS dan Uni Eropa nampak dominan dalam setiap pengambilan keputusan WTO. Masih tingginya domestic support negara maju dan kuatnya tekanan kepada negara berkembang untuk membuka pasar (market access) membuat negara-negara berkembang yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian harus menghadapi pertarungan yang asimetris dengan negara maju.

Institusi tersebut telah memaksa negara-negara miskin untuk membuka pasar mereka sebelum produsen lokal memiliki kapasitas untuk berkompetisi. Konsekuensinya kekuatan ekonomi yang timpang antarnegara maju dan negara-negara berkembang dan miskin yang tergabung dalam WTO didorong untuk beradu dalam ring pasar bebas. Ibarat petinju kelas berat yang berhadapan dengan petinju kelas bulu, negara-negara maju dengan mudah mengkanvaskan negara berkembang ke sudut ring.

Menurut Abdul Qadir Zallum, tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi negara-negara maju yang memiliki superioritas dari negara-negara berkembang.

Baca Juga:  Mahfud MD Tegaskan Pentingnya Pendidikan dalam Menangkal Paham Radikal

Akibatnya negara-negara berkembang terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Di sisi lain kebijakan tersebut membuat struktur perekonomian negara-negara berkembang sangat sulit dalam membangun fondasi ekonomi yang tangguh sebab terus bergantung kepada negara-negara industri. Dengan demikian mereka tidak akan bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.

Lalu bagaimana strategi agar pangan tetap bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, tanpa adanya kelangkaan dan harga yang mahal. Tsunami impor akan terus menggerus negeri ini selama rezim tetap berpegang pada kebijakan ekonomi neoliberal. Untuk menghentikannya dibutuhkan negara yang punya visi jelas, pemerintah yang berperan sebagai pelayan bukan pebisnis, serta sistem ekonomi syariah bukan ekonomi yang prokapitalis.

Islam memperbolehkan negara untuk mengimpor komoditas-komoditas yang memang dibutuhkan oleh rakyat. Namun demikian, harus benar-benar dipilih dan ditentukan komoditas strategis nasional.

Oleh karena itu, pemerintah perlu ada perbaikan dari sisi supplay chain atau rantai pasok agar berbagai produk dimasyarakat, seperti komoditi pangan, bisa cukup diproduksi dan didistribusi secara merata sehingga impor-impor pangan bisa dihindari. Adapun tata cara peningkatan produksi dan pemerataan distribusi bisa dilakukan dengan intensifikasi, ekstensifikasi, efisiensi tataniaga, pembangunan infrastruktur dan sistem informasi pasar yang memadai.

Pemerintah juga harus menguatkan pengawasan terhadap praktik-praktik kecurangan atau mafia impor yang merugikan masyarakat dan memberikan sanksi yang membuat jera, bukan hanya sekedar ancaman basa basi atau hukuman yang bisa dibeli dengan uang.

Namun demikian, yang lebih penting dari itu semua adalah adanya paradigma sistem dan kepemimpinan yang sahih yang dimiliki oleh negara dan masyarakat didalamnya yaitu Islam. Karena visi-misi dalam sistem Islam bahwa negara adalah tugasnya untuk melayani dan bertanggungjawab terhadap masyarakat.

Seperti diketahui bahwa faktor penyebab kenaikan harga pangan ada faktor yang tercipta secara alami antara lain yaitu langkanya ketersediaan bahan pangan tertentu akibat gagal panen, serangan hama, jadwal panen dan lain-lain. Kemudian bisa saja karena penyimpangan ekonomi yang diterapkan negeri ini dengan neoliberalnya dan ini tentu saja menyalahi dari hukum-hukum syari’ah Islam, seperti terjadinya ihtikâr (penimbunan), permainan harga (ghabn al fâkhisy), hingga liberalisasi yang menghantarkan kepada ‘penjajahan’ ekonomi.

Baca Juga:  Asosiasi Perusahaan Media Ajukan 7 Aspirasi ke Pemerintah, Apa Saja?

Jika melambungnya harga saat ini karena faktor alami yang menyebabkan kelangkaan barang, maka disamping umat dituntut bersabar, Islam juga mewajibkan negara untuk mengatasi kelangkaan tersebut dengan mencari suplay dari daerah lain. Jika seluruh wilayah dalam negeri keadaannya sama sedang defisit pasokan pangan, maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor dengan masih memperhatikan produk dalam negeri.

Namun jika melambungnya harga disebabkan penerapan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal, maka penguasa harus mengatasi agar hal tersebut tidak terjadi. Hal ini pernah dicontohkan oleh kepemimpinan Islam selama kurun waktu 1300 tahun lebih, masa itu pernah Rasulullah SAW sampai turun sendiri ke pasar untuk melakukan ‘inspeksi’ agar tidak terjadi penipuan harga maupun penipuan barang alat tukar, beliau juga melarang untuk menimbun barang.

Hal yang paling urgen adalah tanggungjawab pemerintah, dalam Islam pemimpin harus memaksimalkan upaya dan antisipasi dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian sehingga negara tidak boleh kosong dari riset dan penemuan baru dibidang pangan.

Bahkan, pemerintah seharusnya memberikan perhatian terhadap sarana dan prasarana yang menunjang distribusi hasil pertanian misalnya penyediaan alat transportasi yang memadai serta perbaikan infrastruktur jalan karena pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi negara, bahkan negara bisa mengalami kegoncangan jika pertanian dikuasai ataupun bergantung pada negara lain. Pemerintah harus menyediakan bibit tanaman, pupuk yang murah dan segala fasilitas untuk memudahkan dan mendukung para petani.

Negara yang betul-betul mengayomi masyarakat dengan sepenuhnya amanah seperti ini hanya kita dapatkan dalam sistem Islam yang menerapkan Islam secara sempurna hingga dalam pengaturan kenegaraan termasuk dalam menangani permasalahan kelangkangan pangan dan soal harga. Maka sudah saatnya kita kembali pada aturan Islam agar mendapatkan keberkahan.

Tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.