Dedi Mulyadi: Jaga Jarak Sosial Itu Telah Diajarkan Oleh Leluhur Kita

JABARNEWS | PURWAKARTA – Leluhur atau nenek moyang Indonesia sejak dahulu kala telah mengajarkan kita karantina wilayah dan jaga jarak atau social distancing. Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi.

Hal itu terlihat dari maksimal jumlah rumah di setiap wilayah hanya ada 40 bangunan dan berjarak. Bahkan antar wilayah atau kampung terdapat perbatasan yang steril dan dijaga, sama seperti pos jaga Covid-19 yang saat ini bermunculan.

“Siapa yang harus berperan di sini, mulai dari para kepala desa. Coba telaah kembali Peraturan Desa Budaya yang pernah saya buat saat jadi bupati. Di sana tata kelola, tata arsitektur, tata lingkungan masyarakat sudah diatur seperti apa yang diajarkan oleh leluhur kita,” katanya.

Pria yang selalu memakai iket putih itu mencontohkan orang baduy yang hingga saat ini berhasil menangkal virus dan bahkan menolak bantuan pemerintah. Mereka berhasil menciptakan lingkungan yang baik bagi kehidupan.

“Contoh lainnya adalah masyarakat Bali yang memiliki kemiripan dengan orang Sunda. Kasus Covid-19 di sana minim karena masyarakat sudah terbentuk dengan melakukan karantina wilayah yang dijaga pecalang, ditambah rumah dan lingkungan mereka yang terjaga. Sehingga yang kena (Corona) hanya pendatang atau turis,” ujarnya.

Dalam bukunya yang berjudul Purwakarta Spirit Budaya, Dedi juga sudah meramalkan kondisi saat ini. Di mana, dalam buku tersebut fenomena wabah penyakit akan menyerang seluruh aspek hingga melumpuhkan perekonomian.

Baca Juga:  Sri Lanka Memanas, DPR Minta Kemlu Pastikan Perlindungan dan Keselamatan WNI

“Ajaran leluhur mengenai tata kelola lingkungan bisa menjadi kunci keberhasilan dalam mengatasi pandemi virus corona atau Covid-19,” ungkapnya saat menggelar sosialisasi UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan bersama para tenaga medis dan kepala desa di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat secara virtual, Selasa (9/6/2020).

Hal itu dimulai dari lingkungan rumah, bertetangga, hingga ke hal yang lebih luas. Ia mencontohkan kebiasaan orang Sunda yang membuat tepas atau serambi di setiap rumah, yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu. Sehingga tamu tidak masuk ke ranah privasi yang ada di dalam rumah . Kemudian orang masuk ke rumah itu wajib membuka alas kaki, sehingga tidak ada kotoran yang ikut masuk.

“Di atas pintu masuk disimpan bawang putih dan cabai yang dulu katanya penangkal jurig kuris, padahal itu bermanfaat untuk menangkal virus,” katanya.

Sebelum masuk lebih jauh ke dalam rumah, biasanya terdapat tempat cuci kaki dan tangan yang kini mulai orang-orang gaungkan.

“Lalu ada kebiasaan setiap orang atau tamu yang masuk diberi daun sirih untuk dikunyah. Pada saat ini daun sirih digunakan untuk antiseptik alami yang berguna mematikan virus dan kuman,” ujarnya.

Baca Juga:  Kapan Vaksin Covid-19 Tersedia? Ini Perkembangannya

Pola kehidupan lainnya yang patut dicontoh adalah mengenai tata letak kamar. Menurutnya tradisi mengajarkan hanya ada satu kamar yang digunakan untuk orangtua.

Sementara anak tidur bersama di ruang tengah. Dedi mengatakan, hal itu dibuat agar seluruh aktivitas anak mulai dari belajar, hobi hingga mengigau saat tidur diketahui oleh orangtuanya. Tidak hanya itu tidur bersama dengan saudaranya yang lain akan menumbuhkan sifat kebersamaan dan gotong royong yang kuat.

“Tapi sekarang kan tidak. Anak bayi pun kadang sudah dibuatkan kamar pribadi. Sehingga kelak orangtuanya sulit untuk mengontrol apa yang dilakukan anak di dalam kamarnya, seperti apa yang dia buka di laptop, apa yang dia baca dan sebagainya,” kata Dedi.

Sejak ia menjadi bupati Purwakarta sudah memiliki konsep balik ka lembur atau pulang ke asal.

“Tapi kita belajar mengenai ajaran-ajaran karuhun malah dianggap mistis, kita bicara Sunda Wiwitan malah dianggap bertentangan dengan agama,” ujar Dedi.

Padahal, kata Dedi, dalam ajaran tersebut banyak makna atau filosofi yang terkandung untuk kebaikan. Ia pun meminta hal itu tak hanya dipandang dari sisi mistis atau ketuhanannya.

“Tapi kita lihat kebaikan-kebaikan yang sangat bermanfaat untuk saat ini. Jadi soal karantina ini kita jangan terpukau seolah ini ajaran dunia barat, justru karantina ini ajaran leluhur kita secara utuh, ” katanya.

Baca Juga:  Tiga Barang Mewah Yang Biasa Dikoleksi Pria, Harganya Bisa Ratusan Juta

Selain mengenai kekarantinaan, Dedi juga mengemukakan idenya melakukan logika terbalik dalam pemanfaatan anggaran. Salah satunya adalah setiap desa membuat satu bangunan khusus yang bisa berfungsi sebagai ruang tamu atau di saat seperti ini bisa digunakan untuk tempat isolasi mandiri.

Hal lainnya adalah puskesmas harus berperan besar dalam kesehatan masyarakat seperti namanya Pusat Kesehatan Masyarakat. Sehingga Puskesmas yang baik itu bukan paling banyak memiliki Alat Kesehatan (Alkes), jenis obat dan jenis perawatan, tetapi mereka yang berhasil menciptakan lingkungan yang sehat.

“Saya dulu mengusulkan gaji dokter itu diubah, bukan yang paling banyak mengurus pasien atau membuat resep itu mendapat gaji paling banyak. Tapi semakin sedikit pasien yang datang, semakin sedikit resep dibuat karena masyarakatnya sehat, itulah yang digaji paling besar,” ujarnya.

Menurut Dedi, saat ini yang difokuskan adalah anggaran yang besar untuk memperbanyak alat kesehatan, ambulans dan sebagainya.

“Sekarang kita ubah itu semua. Karena orang itu banyak bangkrut karena masalah kesehatan, begitu juga dengan negara ini bisa mengalami kebangkrutan,” ujar Dedi.

Mantan Bupati Purwakarta tersebut menyebutkan agar penanganan wabah corona diserahkan ke kebijakan daerah masing-masing. Jadi, penanganan corona bisa dilakukan dengan berbasis kearifan lokal. (Red)