Gegara Ini, dr Reisa Dapat Kritikan Ombudsman

JABARNEWS | JAKARTA – Dokter Reisa Broto Asmoro langsung mencuri perhatian warganet ketika muncul saat mendampingi juru bicara pemerintah untuk COVID-19, Achmad Yurianto, Senin (8/6/2020).

Dokter Reisa baru 2 minggu ini ditunjuk sebagai tim komunikasi Gugus Tugas COVID-19. Kehadiran dr Reisa Broto Asmoro ini diharapkan bisa menyampaikan edukasi yang lebih diterima publik. Dia dianggap sebagai sosok yang bisa menyampaikan agenda kesehatan secara lebih luwes, substansial, namun mudah diterima masyarakat.

Dokter yang juga duduk sebagai Humas PB IDI itu aktif membagikan kehidupannya di sosial media Instagram.

Baca Juga:  Dedi Mulyadi Haru dengan Kisah Wanita Tangguh yang Jadi Tulang Punggung Keluarga

Di Instagram berpengikut lebih dari satu juta orang itu, ia menampilkan beberapa merek dagang, seperti minuman kemasan hingga susu bayi.

Menanggapi hal tersebut, Komisioner Ombudsman, Alvin Lie, mengatakan, secara umum seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak boleh menjadi endorser produk komersial tanpa seizin atasan. Begitu pun dengan seseorang apabila sudah diangkat menjadi pejabat publik seharusnya ia harus mundur dari kontrak dengan produk apa pun.

Baca Juga:  Indonesia Punya GHP Tarbanyak di Asia Tenggara, Mampu Produksi hingga 199 Ton Hidrogen per Tahun

“Etikanya yang bersangkutan harus mundur dari kontrak-kontrak tersebut, karena ini berpotensi konflik kepentingan terkait dengan jabatan yang diemban itu akan melekat pada produk yang diendorse,” ujar Alvin, Kamis (18/6/2020).

Alvin mengatakan, hal itu harus dilakukan sebab produk yang diiklankan itu bisa melekat ke sosok pejabat publik tersebut.

“Jadi ini masalah etika mungkin yang bersangkutan sudah ada kontrak-kontrak sebelumnya. Namun saat diangkat menjadi pejabat publik, seharusnya yang bersangkutan segera mengundurkan diri dan mengatur kapan iklan-iklan yang diendorse itu segera dihentikan,” ujar Alvin.

Baca Juga:  Sadis, Bujang Lapuk Ini Gauli Siswi Kelas I SD

Alvin mengatakan kode etik kedokteran juga telah mengatur bagaimana seorang dokter bersikap. Merujuk pada Kode Etik Kedokteran Indonesia tahun 2012 Pasal 3, di sana dibahas soal perbuatan yang dipandang bertentangan dengan kode etik.

Di poin 3 pasal tersebut dikatakan; Membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi/obat, perusahaan alat kesehatan/kedokteran atau badan lain yang dapat mempengaruhi pekerjaan dokter. (Red)