Yenny Wahid Sebut Penegak Hukum Over Interprestasi Terhadap 7 Tapol Papua

JABARNEWS | BANDUNG – Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Wilayah DKI Jakarta-Jawabarat-Banten melaksanakan diskusi webminar “Aksi Disriminasi Rasialisme Mahasiswa Papua berujung Sidang Makar” dari perspektif hukum dan HAM, Kamis (25/6/2020).

Diskusi virtual tersebut guna menyikapi persoalan terhadap 7 tanahan politik (tapol) Papua yang didakwa melakukan Makar.

Dalam kegiatan ini hadir Yenny Wahid selaku Direktur Wahid Institute sebagai Keynote Speaker dan pemateri lain seperti Erasmus Napitupulu (Direktur Esekutif Institut for Criminal Juctice Reform ICJR), Korneles Galanjinjinay (Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI), dan Dominggus Jitmau (Kordinator Wilayah XII Papua-Papua barat) .

Kordinator Wilayah III GMKI, David Robby Marpaung selaku pelaksana kegiatan menuturkan bahwa kegiatan ini dilakukan untuk mengurai permasalahan kasus 7 tahanan politik Papua.

Davit menuturkan, apakah pasal makar sudah pantas didakwakan terhadap rekan-rekan aktivis tahanan politik Papua saat melakukan aksi demonstrasi peristiwa rasialisme di surabaya tahun lalu, dikaji dari aspek Hukum dan Hak Asasi Manusia terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat dimuka umum.

“Tidak hanya bicara soal pembungkaman kebebasan berpendapat teman-teman mahasiswa Papua, kita selaku aktivis gerakan mahasiswa bagian dalam negara demokrasi nantinya juga akan terancam apabila kedepan melakukan aksi kritis dalam penyampaian aspirasi kepada pemerintah, bisa-bisa dituduh makar lagi” ungkap David.

Dalam sesi diskusi webinar yang dilakukan dengan zoom, Yenny Zannuba Ariffah Chafsoh yang akrab disapa Yenny Wahid lebih banyak membahas dari perspektif Hak Asasi Manusia.

Baca Juga:  Sasar Pralansia, Ini Strategi Vaksinasi Covid-19 di Kota Cirebon

Menurutnya penyampaian aspirasi dengan ekpresi pengibaran bendera bintang kejora itu bukanlah tindakan makar, karena sudah tertuang dalam UU Otsus Papua Pasal 2 mengatakan bahwa Papua memiliki kekhususan untuk menggunakan lambang daerahnya yang disebut sebagai lambang kultural.

“Gusdur pernah bilang, klub bola saja punya bendera apalagi sub-etnis masyarakat tertentu dalam masyrakat Indonesia, selama bendera itu tidak dimaknai secara bendera politik tidak masalah,” ungkap Yenny mengenang almarhum Gusdur.

Menurut Yenny Wahid, ada interpretasi yang berlebihan dari aparat keamanan dalam menyikapi pengibaran bendera bintang kejora, padahal bendara itu merupakan ekspresi budaya mayarakat Papua.

“Jangankan bintang kejora, jokes Gusdur saja orang pake dipanggil segala ke kantor polisi” ungkap Yenny.

Selain itu Yenny juga menyampaikan bahwa diskriminasi rasialisme masih terasa dialami oleh orang Papua baik sifatnya vulgar seperti kasus di Surabaya dengan menyebut “Monyet” maupun secara halus subconscious atau alam bawa sadar.

“Jarang sekali kita lihat orang Papua di representasikan sebagi simbol kecantikan di iklan-iklan TV, hal itu terjadi karena Papua tidak dipandang sebagai suatu entitas etnis yang eksis, secara alam bawah sadar ini juga diskriminasi,” ungkap Yenny Wahid

Baca Juga:  Wow! Gaji Ahok Sebagai Komisaris Utama Pertamina Kalahkan Gaji Presiden

Selain diskriminasi rasialisme yang bersifat negatif, Yenny mengungkapkan bahwa di Papua juga terdapat diskriminasi positif misalnya untuk jabatan-jabatan puncak pemerintahan hanya boleh dijabat oleh orang asli Papua, ini sifatnya diskriminasi positif karena sebagai aksi affirmative untuk menguatkan kelompok masyarakat yang termarjinalkan.

Yenny menilai bahwa korupsi juga menjadi masalah yang harus diselesaikan di Papua. selain itu menghadirkan good governance atau tata kelola pemerintahan di Papua masih jauh dari kata ideal yang menimbulkan perasaan ketidakpuasan bagi sebagian masyarakat. Hal ini bisa memicu munculnya gerakan-gerakan yang terkadang di ekspoitasi untuk kepentingan kelompok tertentu.

Berdasarkan riset Lowry institute, angka kekerasan dan kematian akibat pelanggaran HAM yang terjadi di Papua terbagi atas 3 kategori yakni kekerasan yang dilakukan oleh kelompok aparat kemanan, kelompok separatisme dan kerusuhan antar masyarakat. Menurut hasil riset angka kekerasan dan kematian tertinggi dilakukan oleh kelompok separatis.

“Ketika mau mengadvokasi teman-teman Papua kuasai data dan mampu melihat dari perspektif berimbang tidak hanya sekedar mengedepankan perasaan sentimentil” ungkap Yenny.

Yenny wahid menegaskan bahwa pembahasan penentuan nasib sendiri oleh mahasiswa Papua bisa dilakukan dalam debat yang sifatnya ilmiah diruang lingkup kampus namun apabila hal itu dilakukan dijalanan maka orang-orang akan menafsirkan itu sebagai gerakan politik.

Baca Juga:  Prajurit TNI Bantu Pekerja Bangunan di Lokasi TMMD

Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu menyampaikan bahwa mengibarkan bendera bintang kejora, menyanyikan yel-yel papua merdeka dan meneriakkan “menentukan nasib sendiri” tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan makar karena tidak memenuhi pasal 87 Nomor 106 KUHP tentang makar dengan tujuan memisahkan diri dari negara Indonesia.

“Tidak dapat dikatakan makar karena tidak memenuhi unsur-unsur dari Makar, ekspresi politik tidak dapat serta merta dikategorikan sebagai makar,” ungkap Erasmus.

Erasmus juga menyampaikan bahwasanya bendera bintang kejora itu merupakan bendera kultural, dan tidak melulu bicara merdeka tapi bendera tersebut memiliki makna kebanggaan tersendiri bagi masyarakat papua. Sudah seharusnya pemerintah melakukan pendekatan persuasif terhadap demonstran Papua yang melakukan pengibaran bendera bintang kejora, sama halnya seperti pendekatan yang dilakukan oleh Polda Aceh, saat masyarakat Aceh melakukan pengibaran bendera di kaki gunung Aceh besar.

Selain itu, Erasmus membandingkan dengan aksi yang dimotori Budiman Sujatmiko ketika masih memimpin PRD yang dengan terang-terangan mengeluarkan sikap terbuka mendukung referendum Timor-Timur sejak tahun 1996, hingga Timor-Timur lepas dari Indnesia 1999 dan tidak pernah dikenai pasal Makar.

Sebagai penutup, Erasmus menyampaikan dalam gerakan memperbaharui kebijakan pidana dan menegakkan HAM di Indonesia, maka tidak mungkin kita tidak bicara tentang diskriminasi terhadap orang Papua hari ini. (Red)